ORANG itu, tiba-tiba begitu saja duduk di sampingku. Entah apa karena aku pun memang tengah berat menahan kantuk sejak menaiki bis ini atau juga karena memang ia yang demikian ringan tubuhnya sehingga aku merasa hampir tak menyadari kehadirannya itu.
Sedikit banyak di tengah kantuk dan kesadaran yang hanya setengah-setengah aku menggerutu dalam hati; kenapa pula ia memilih tempat duduk tepat di sebelahku padahal bis ini masih memiliki banyak tempat duduk yang kosong? Bukankah penumpang pun sedikit?
Tapi itu rasanya bukan masalah kemudian. Biasanya, terus-terang jika memilih duduk di sebelah kiri bis, tempat duduk yang hanya untuk dua orang, sering kali terasa sempit. Kadang bahu lengan terasa sakit pas ketika turun dari bis karena sepanjang perjalanan berhimpitan terus dengan orang yang duduk di sebelah. Tapi untuk kali ini tidak begitu. Aku merasa masih begitu leluasa bergerak dan lowong, tapi aku juga begitu yakin bahwa ia masih ada di sampingku.
Beginilah aku, seminggu dua kali harus menempuh perjalanan sebanyak sekitar 70 kilo lebih, bolak-balik dari rumah dan tempat kuliah yang berada di kota. Bisa saja aku sebenarnya memilih perguruan tinggi di kabupaten, di mana aku tinggal, tapi itu artinya aku akan banyak ketinggalan dalam banyak hal. Aku sendiri merasakan hal itu, bukan sekadar mengada-ada. Setiap akhir pekan seperti ini, adalah jadwal pulang, dan pada Ahand malam nanti, aku harus sudah kembali lagi ke kota.
BACA JUGA: Maaf, Ikhwan itu Pacar Saya
Aku sengaja selalu memilih perjalanan malam hari, baik ketika pergi atu pun kembali. Alasannya, cuaca tidak akan terlalu panas, dan bis pun biasanya tidak terlalu penuh. Jadi terasa enak. Ditambah, perjalanan malam hari selalu lebih cepat.
Ketika kondektur menagih ongkos, aku sedikit terjaga, dan masih di antara sadar dan tidak, aku memberikan ongkos pas yang memang selalu kusediakan di saku celana sebelah kanan. Aku memejamkan mata lagi, menarik nafas, merasakan segar dingin yang berasal dari AC bis. Tapi entah kenapa, aku ternyata tidak terlalu bisa untuk tidur lagi. Tapi aku masih mencoba untuk memejamkan mata.
Tiba-tiba saja aku mengingat-ingat sosok yang berada di samping kananku ini. Kalau tidak salah ia memakai pakaian hitam-hitam. Ke atasnya, ia memakai sweter hitam polos tanpa desain apa-apa, dengan penutupnya dipakai untuk menutupi kepalanya dari deraan dinginnya AC yang memang terasa menusuk. Ke bawahnya, aku tidak bisa mengingat dengan begitu jelas. Mungkin bahannya dari katun. Mungkin juga dari katun—tapi hei, apa pentingnya bagiku? Aku menguap sedikit panjang.
Bagaimana rupanya ya, dan setua apa dia? Aku ternyata masih memikirkan dia juga, orang yang duduk di sebelahku ini. Aku yakin, ia tidak lebih tua dariku kurasa. Dan masalah wajahnya, aku tidak bisa menebak-nebak, karena terhalang oleh penutup dari sweternya. Aku juga tiba-tiba berusaha mengingat, rasanya tadi kondektur tidak menagih ongkos padanya? Aku tidak begitu yakin juga, karena aku sendiri tadi tidak sepenuhnya terjaga, masih berperang dengan kantuk. Dan lagipula, kemungkinan besar bisa jadi seseorang yang duduk di belakang dia (kami) membayarinya karena mereka adalah saudara atau sejenis itulah.
Bis, seperti biasa melaju demikian kencang. Mungkin karena malam dan kendaraan lain sudah begitu jarang. Inilah enaknya perjalanan malam itu, tidak harus terjebak macet. Dan juga karena jalan tol yang memungkinkan semua perjalanan menjadi cepat dan mudah.
BACA JUGA: Cahaya Gyeokbokgung
Aku ternyata tidak bisa memejamkan mata lagi. Aku berusaha untuk tidak melihat siapa gerangan yang duduk di sampingku ini, walaupun sangat ingin, entah kenapa. Biasanya, jika bersebelahan dengan siapapun, aku tak pernah menatap wajahnya dengan sengaja, karena kupikir itu bukanlah sebuah perbuatan yang sopan.
Akhirnya aku hanya mengingat kejadian-kejadian yang kualami sepanjang pekan ini. Dua hari aku bersama Dedi, sahabatku, tenggelam dalam pembuatan proposal rohis untuk kegiatan mentoring tahun depan. Satu hari untuk beres-beres tempat kos dengan teman-teman tinggal di tempat itu. Dua hari untuk latihan bela diri yang kuikuti di sekolah. Ah, alangkah sempitnya waktu dan begitu cepat ia berlalu. Sayang sekali jika kita hanya menghabiskannya hanya untuk sekadar perbuatan yang tidak terlalu berguna.
Aku sampai pada ingatan di mana aku bertemu dengan Bu Hasanah, guru agama di sekolah dulu. Ia mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak bisa memahami perkataannya, dikarenakan aku merasakan kesadaranku semakin berkurang, sebab kantuk yang menyerang lagi. Aku menarik nafas, kali ini sambil membaca doa hendak tidur dalam hati. Bis makin terasa melaju kencang.
Aku merasa terlelap, panjang dan lama.
Entah di mana, karena kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya, aku terbangun dan mendengar jeritan hampir dari semua penumpang. Detik berikutnya, aku mendengar suara benturan yang amat keras di bagian depan bis, dan seketika bis terguncang hebat. Aku merasa akan terlempar namun segera saja mencoba untuk berpegangan pada sandaran kursi di depanku, dan dalam kondisi itu aku segera memahami bahwa bis tabrakan, atau menabrak kendaraan lain di depan. Seluruh bis porak poranda dan aku sendiri merasakan panas yang luar biasa, sebisa mungkin berpegangan erat terus, dan bis pun berguling-guling.
BACA JUGA: Disaster Jono
Seluruh tubuhku terasa perih dan rasanya kulit hangus terbakar. Sedetik kemudian aku merasa bis berhenti bergerak, namun api makin membakar sekelilingku. Aku kehabisan nafas dan merasakan sakit yang tak terhingga, dan aku hanya bisa mengucapkan kata dalam hati saja, “Allah, Allah….Allah…”
Ingatanku sudah tumpul dan hampir hilang sepenuhnya, ketika dari balik kobaran api, aku melihat sesosok tubuh yang aku ingat, ia duduk di sampingku tadi. Ia berjalan seperti melayang begitu saja di atas atau di antara api yang panas dan menyengat-nyengat, aku tidak begitu ingat. Sebelum semuanya jelas bagiku, aku melihat wajahnya…. dan ya Allah, ia tidak memiliki bentuk wajah, hanya rata, dan rata. Ia mengeluarkan sesuatu yang membuat aku merasa takut.
Sedetik kemudian, aku mulai merasakan ia memasukiku dan mengambil sesuatu dariku. Sebelum aku menyadari semuanya, aku masih mencoba mengatakan sesuatu dalam hati tergerakkan oleh bibirku namun sangat perlahan, “Asyhadu ala illaha ilallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah, ….. la ilaha illallah…..”. Dan kemudian semuanya terasa dingin, sepi, dan untuk sesaat aku merasa begitu sendirian. []