PERNAH diceritakan kepada saya, ada perusahaan penyedia jasa ruangan-ruangan untuk disewakan. Pada satu masa, keuangannya menurun. Penyewanya sedikit sekali. Ditenggarai, begitu menurut mereka, sebab berdiri kompetitor tidak jauh dari lokasi gedung mereka. Hingga kemudian karyawannya membuat pengajian.
Dipanggilnyalah seorang ulama. Pengajian diadakan pagi menjelang zhuhur. Saat zhuhur tiba, ulama tersebut yang memang masih di sana saat itu, bertanya di mana di ruang apa kalau mau shalat? Karyawan-karyawan yang ditanya, gelagapan. Sebab memang gedung ini tidak menyediakan ruang khusus untuk memuliakan orang-orang yang shalat.
“Selama ini di mana shalatnya?” tanya ulama tersebut.
“Di parkiran bawah,” jawab karyawan.
Ulama ini ngambek. “Wah, mana bisa maju kalau begini? Gedung ini memang siapa yang ngasih? Kan Allah. Walaupun kelihatannya yang bangun adalah manusia. Masa terhadap Allah yang sudah memberikan gedung ini; baik uang, kesehatan, dan kesempatan, untuk memakai dan menikmati gedung ini, eh… malah dipinggirkan?”
BACA JUGA: Mengendarai Ikhlas
Ulama ini pulang.
Tertinggallah karyawan terbengong-bengong. Tapi mereka mengamini. Mulailah mereka melakukan sesuatu. Mereka bersama-sama menghadap kepada direksi dan menjelaskan peristiwa ini. Alhamdulillah, direksi setuju. Lalu ada ruangan “yang dikorbankan” untuk menjadi tempat shalat. Maka mulialah orang-orang yang shalat sebab ruangan shalatnya menjadi layak dan nyaman.
Sejak itu, karyawan gedung tersebut banyak yang merasakan bahwa tingkat penyewa kembali meninggi.
Tapi apa yang terjadi? Di pers release-nya direksi dan manajemen, menjelang RUPS, sama sekali tidak disinggung keberhasilan ini adalah sebab memperhatikan urusan mushalla. Kelihatannya sepele; menyediakan orang-orang yang shalat tempat yang layak. Tapi yang sepele ini justru yang diyakini sebagai pembawa kemakmuran dan kejayaan kembali bagi tuh gedung dan manajemennya. Sayang, kita itu ya begitu. Kurang mengakui, atau mungkin kurang berani mengakui bahwa sisi spiritual itu yang menjadikan dunia ada di genggaman. Dipikirnya, urusan spiritual urusan akhirat yang hanya berdimensi akhirat saja.
Saya mendapat cerita ini, bahwa yang diagung-agungkan sebagai suatu keberhasilan oleh mereka adalah bahwa manajemen atas melakukan perubahan manajemen. Banyak tenaga-tenaga ahli muda yang berpendidikan serta berpengalaman, masuk, ikut mengendalikan dan memajukan gedung. Karena itulah gedung ini terang kembali. Sebab lainnya, begitu kata pers release-nya, adalah komitmen direksi dan share holders yang begitu tinggi terhadap penampilan dan perbaikan fisik. Lalu mereka menyebut keberadaan taman depan yang baru, ditambah dengan jaket gedung yang memang juga baru yang menambah terang gedung tersebut.
Sama sekali tidak menyebut dengan gagah, “Bahwa kemajuan ini adalah sebab kami menyediakan tempat shalat yang sangat layak dan nyaman, padahal sebelumnya kami menempatkan mushalla di lantai parkiran yang pengap.” Tidak ada tuh… tidak disebut.
Saya ketika menerima kisah ini sebagai satu pembelajaran, sempat sedikit menghibur, “Barangkali mereka tidak mau pamer… nanti disangka riya.”
Yah, barangkali juga.
Tapi, sekarang kalau memang begitu, indikatornya gampang. Di antaranya:
Apakah perbaikan sarana dan prasarana ibadah menjadi semakin baik?
Apakah ada penambahan tenaga khusus untuk mengelola aset yang disebut sangat berharga itu (kalau memang diaku, tapi tidak mau diekspos sebab takut riya)?
Apakah ada penambahan kegiatan keagamaan (kegiatan ibadah)?
BACA JUGA: Jangan Sembarang Sedekah, Bisa Saja Tak Diterima Allah
Yang barangkali lebih menohok lagi, apakah ruangan itu masih dipakai untuk ruangan shalat?
Kelihatannya sinis ya pertanyaannya, tapi wajar ditanyakan. Sebab maaf, banyak yang kemudian terjadi begini; sebab laku, kemudian direksi dan manajemen merasa sayang mengorbankan ruangan itu dan mengembalikan ke posisi semula. Masih bagus kalau kemudian tempat yang disebut mushalla di parkiran itu diperbaiki, bagaimana kalau tetap seadanya, atau dengan perbaikan yang setengah hati?
Bila memang itu yang terjadi, maka sebenarnya sama saja tidak ada pengakuan.
Jujur saja, kita pun suka demikian kok. Sebelum kaya, masya Allah, rajinnya itu yang namanya shalat-shalat sunnah. Artinya, jangankan yang wajib, yang sunnah pun dikerjakan habis-habisan. Giliran sukses, giliran kaya, kita mengorbankan ibadah. Itu’kan menjadi terbalik. Alias jangankan yang sunnah, yang wajib pun keteteran.
Ini’kan sama saja dengan kalimat, “Apakah manajemen gedung itu kemudian mengorbankan ruangan yang sudah membawa mereka kepada kejayaan, ataukah malah memperluas dan menambah nyaman ruangan tersebut?”
Inilah di antara sebab orang kemudian berkata, “Makanya jangan shalat karena masalah atau hajat. Sebab nanti shalatnya kendor setelah masalah dan hajat tercapai.”
BACA JUGA: Beribadah Bukan Musiman
Padahal, jika seseorang “menghentikan” shalatnya atau “mengendorkan” shalatnya, maka sebutannya adalah “kufur nikmat”. Jangan kemudian menyalahkan niat.
Ini pula yang mengakibatkan seseorang barangkali mengatakan “kudu ikhlas dalam sedekah (ibadah)”. Sebab dikhawatirkan sedekahnya takutnya hanya untuk tujuan-tujuan dunia. Padahal, sekali lagi, sedekah untuk tujuan-tujuan dunia adalah dibenarkan. Karena menjadi cara yang ditunjukkan Allah. Sedang sesuatu yang ditunjukkan Allah pun, itu ada keridhaan-Nya di dalamnya.
Wallahu a’lam. []
Sumber: The Miracle of Giving/Karya: Ust. Yusuf Mansur/Penerbit: PT. Bestari Buana Murni