Oleh: Aditya Budi
adityabudi82@gmail.com
MESIR pada rentang abad 10-11 H era di mana Dinasti Fatimiyah berkuasa, geliat tradisi keilmuan mulai merebak di penjuru dunia Islam. Al-Muiz salah satu khalifah pada saat itu membangun sebuah kota di dekat Fustat yang bernama Al-Qahirah yang artinya “Kemenangan”. Lantas hari ini kota tersebut dikenal sebagai Cairo. Pada masa itu, kilau kejayaan Cairo sempat mengungguli Baghdad sebagai kiblat kekhalifahan dunia Islam.
Pada saat itu pula, Al-Muiz membangun sebuah masjid megah bernama Al-Azhar (Yang Berkilauan) yang kemudian hari menjadi universitas Islam tertua di dunia. Al-Hakim, penerus dari Al-Muiz, membangun pula Dar al-‘Ilm (Rumah Ilmu) sebuah pusat studi sekaligus perpustakaan terbesar yang ketenarannya hanya akan tertandingi oleh Baitul Hikmah di Baghdad.
Dar al-‘Ilm memiliki 40 ruangan dan koleksi 18.000 manuskrip tentang sains zaman klasik, ungkap Al-Maqrizi sejarawan Islam abad ke-15. Para staf yang bekerja di Dar al-‘Ilm bukan hanya pustakawan semata, melainkan juga terdapat ahli-ahli matematika, astronom, tata bahasa, leksiografi serta penyalin dan pembaca Alquran.
BACA JUGA: Beginilah al-Haytham, Ilmuwan Muslim, Menemukan Kamera Pertama Kalinya
Adalah Ibnu Haytham (965-1041 M) salah satu ulama dan ilmuwan muslim terkemuka yang gemilang pada saat itu. Meski lahir di Bashrah (Irak) namun namanya melambung di Mesir di mana Dinasti Fatimiyah berkuasa. Bernama asli Abu Ali al-Hasan Ibnu al-Hasan al-Haytham adalah salah seorang ilmuwan muslim fenomenal yang kontribusi warisannya begitu nyata bagi dunia. Dimana soal teori cahaya dan penglihatannya sangat mempengaruhi arah studi keoptikan pada abad-abad setelahnya. Dikenal di Barat dengan nama Alhazen, Ibnu Haytham mendapat julukan Bapak Optik Modern.
Berawal dari sebuah peristiwa dimana aliran sungai Nil pada saat itu masih belum terkendali dan menyebablan banjir. Khalifah Al-Hakim nampak belum menemukan cara untuk mengontrol debit aliran sungai Nil agar ketika musim hujan tiba tidak mengakibatkan banjir. Ibnu Haytham hijrah ke Mesir dan sesumbar mengajukan kesanggupannya membangun bendungan guna mengatur aliran sungai Nil.
Sang Khalifah pun percaya bahkan menawarinya sejumlah posisi di kabinet al-Hakim. Lantas ketika Ibnu Haytham mengamati aliran sungai Nil, ia terkagum-kagum melihat begitu banyak struktur bangunan-bangunan kuno di sepanjang sungai Nil. Khlaifah al-Hakim dikenal juga sebagai seorang yang cukup kejam dan tak segan-segan memberi hukuman kepada siapa saja yang melanggar aturannya ataupun tak menyenangkan hatinya.
Sudah terlanjur janji terucap, Ibnu Haytham pun sejatinya tak ingin menelan ludahnya sendiri perihal masalah sungai Nil. Ia menyadari jika membangun bendungan dan mengatur aliran sungai Nil adalah perkara mudah pasti sudah dilakukan sejak zaman Mesir Kuno, dimana bangunan sekelas Pyramid saja mampu dibangun.
Tak ingin mengecewakan Sang Khalifah, terlebih Ibnu Haytham sebenarnya juga tak ingin menerima hukuman berat – bahkan bisa dihukum mati – ia pun mencari akal. Ibnu Haytham akhirnya berpura-
pura gila agar ia terhindar dari hukuman Sang Khalifah. Karena kepuraan gilanya tersebut, Ibnu Haytham dikurung di rumahnya sebagai tahanan rumah.
Dari ruang gelap Ibnu Haytham dikurung itulah konon sang ilmuwan menemukan sebuah fenomena masuknya cahaya dari luar melewati salah satu satu lubang kecil di dinding. Berkas sinar cahaya tersebut di dalam ruang gelap menampakan sebuah pantulan objek di luar.
Laksana blessing in disguise, dari ketidaksengajaan eksperiman itulah Ibnu Haytham lantas penasaran dan mengembangkan penelitiannya. Di antara sekian banyak karyanya di bidang logika, etika, politik, teologi, astronomi dan matematika mungkin di bidang optiklah Ibnu Haytham paling menemukan kilaunya.
Kitab al-Manazir yang dikenal di Barat dengan judul Optics – diterjemahkan pula awalnya ke bahasa latin Opticae Thesaurus – terdiri dari tujuh buku/bab yang didalamnya dijelaskan pula rekonstruksi teori baru tentang penglihatan yang berbeda dengan teori era-era sebelumnya.
Teori Ibnu Haytham memperkenalkan sebuah metode baru bahwa terdapat unsur yang mengubah kecepatan cahaya ke dalam dua komponen independen. Yang kemudian teori tersebut digunakan oleh sejumlah fisikawan Eropa dari abad ke-13 hingga seterusnya, baik dalam mempelajari cahaya maupun gerakan. Dimana metode tersebut kemudian digunakan oleh Kepler dan Descartes dalam menerapkan hukum pengurangan sinus refraksi di tahun 1637. (John Freely :177)
BACA JUGA: Ini 5 Penemuan Muslim yang Mengubah Dunia
Berkaitan dengan teori penglihatan, Ibnu Haytham juga telah mematahkan tesis yang telah berkembang dan mapan tentang penglihatan pada saat itu. Yaitu teori dari dua filsuf Yunani, Ptolomeus dan Euclid dimana jamak diketahui pada saat itu bahwa manusia melihat karena ada cahaya yang keluar dari mata. Ibnu Haytham mengoreksi teori tersebut bahwa sejatinya objek yang memantulkan cahaya yang kemudian cahaya tersebut ditangkap oleh indera penglihatan. Dan pandangan Ibnu Haytham lah nampaknya yang diamini kebenarannya hingga kini.
Pada karyanya Optics itulah, dunia Barat banyak mengkaji dan mengembangkan penelitian tentang penglihatan dan kamera. Untuk mengenang kontribusinya yang sedemikan besar, namanya diabadikan untuk sebuah kawah di bulan “The Creater Alhazen” serta pada tahun 2015, UNESCO meluncurkan kampanye pentingnya sains di bidang cahaya dengan nama “1001 Inventions and The World of Ibn Haytham.” []