SETELAH ayahnya wafat pada tahun 1284 Masehi, Ibnu Taimiyah menggantikan posisi ayahnya sebagai guru dan penceramah di masjid-masjid Damaskus, Irak. Kecerdasannya dalam menguasai persoalan-persoalan mantiq dan filsafat, mengantarkannya sebagai sosok unik yang kontroversial, bahkan di kalangan para ulama sekalipun. Di samping piawai dalam berceramah, ia pun dikenal sebagai teolog yang memiliki intuisi yang tajam dalam soal-soal aqidah dan ketauhidan.
Jiwanya hampir tak pernah kenyang dengan ilmu. Ia rajin membaca, melakukan riset, kemudian menyampaikannya di majlis-majlis keilmuwan. Sejak usia muda, ia sudah menguasai ilmu tafsir, hadits, fiqih, matematika hingga filsafat. Ayahnya sudah membekali dasar pengetahuan tentang teologi dan hukum Islam. Ia banyak melakukan pengembaraan untuk menuntut ilmu, bahkan lebih dari 200 guru, di antaranya Ibnu Abi al-Yusr, Syamsuddin al-Maqdisi, Al-Kamal bin Abdul Majid, hingga Ahmad bin Abu al-Khair.
Ketika usianya menginjak 17 tahun, Ibnu Taymiyah sudah diberi kepercayaan oleh gurunya, Syamsuddin al-Maqdisi untuk memberikan fatwa. Ketekunannya mempelajari ilmu hadits mengantarkannya sebagai ulama ahli hadits yang tajam dan berwawasan luas, hingga ia pun terkenal sebagai “rijalul hadits”. Sebagai ilmuwan dan teolog muslim, ia berani mengumandangkan kebebasan berpikir, serta memiliki prinsip yang teguh pada kebenaran. Ia terus menggeluti berbagai disiplin ilmu, seperti sejarah, matematika, hingga sastra Arab.
Ibnu Taymiyah pernah menolak tawaran pemerintah untuk menduduki jabatan penting sebagai kepala kantor pengadilan. Hati nuraninya tak mau dibatasi oleh ketentuan-ketentuan protokol selaku pejabat pemerintah. Ia terus menekuni filsafat dan ilmu kalam, hingga meluncurkan berbagai pemikiran pembaharuan Islam (tajdid). Gerakan reformasi yang diperjuangkannya, antara lain menyoal praktek-praktek bid’ah dan takhayul yang dinyatakan tak selaras dengan pesan-pesan Islam yang otentik. Ia memperdebtkan ajaran-ajaran yang tidak fundamental, serta menyimpang dari kemurnian Islam yang dibawakan Rasulullah, para sahabat dan tabi’in.
BACA JUGA: Kiat Menghormati Nasab Rasulullah
Ibnu Taymiyah juga dikenal sebagai bapak spiritual dalam gerakan modernisasi Islam. Ia memiliki banyak karya tulis dan komentar-komentar dalam ilmu ushul dan ilmu furu’. Banyak ulama yang semasa dengannya memuji karya-karyanya yang dinilai luar biasa, di antaranya Ibnu An-Nuhas, Al- Qadhi Al-Khaubi, Al-Qadhi Al-Hanafi, Ibnu Az-Zamlakani, hingga Ibnu al-Hariri selaku hakim agung Mesir. Di sisi lain, tidak jarang ulama-ulama yang sengit menentang prinsip hidupnya yang kontroversial tersebut. Ibnu Taymiyah bukan saja menghadapi mereka dengan kemahirannya berdiplomasi, melainkan juga mengadakan perlawanan dengan pena dan literasi.
Ia bahkan merasa yakin bahwa pena lebih mapan untuk menghancurkan bid’ah dan khufarat yang membelenggu pikiran masyarakat. Salah satu karyanya yang mengkritik bid’ah yang menyelubungi pemikiran sebagian ulama, di antaranya kitab Manasik al-Hajj, yang ia tulis untuk menentang berbagai praktek bid’ah yang ditemuinya di kota suci Mekah.
Kitab tersebut kemudian diserang oleh beberapa ulama, bahkan tak jarang dicaci-maki melalui mimbar ceramah. Tulisannya dianggap bertentangan dengan kebiasaan masyarakat umum yang berlaku di Mekah. Bagi mereka, Ibnu Taymiyah telah mempropagandakan kebebasan berpendapat yang dianggap “melabrak” tabiat dan kebiasaan kultur Arab yang dianggap mapan.
Sejak penulisan kitab Manasik al-Hajj, Ibnu Taymiyah mulai diincar, diselidiki, bahkan berkali-kali ditangkap oleh para politisi dan penguasa, baik oleh pemerintah Damaskus hingga Kairo (Mesir). Hingga ia pun terus menulis, mengajar dan mendidik masyarakat dari dalam penjara.
Bagi Ibnu Taymiyah, selama ini pihak pemerintah dan sebagian ulama hanya sibuk menjaga adab-adab mereka di hadapan manusia, namun abai dalam menjaga adab di mata Allah. Mereka hanya takut tercemar namanya dalam pandangan makhluk, sementara di hadapan Tuhan mereka berdusta dan berlaku semena-mena. Ia berusaha keras untuk memikul tugas mengawasi umat, agar mereka konsisten dalam berperilaku yang santun, toleran dan islami.
Sosok kontroversial
Ibnu Taymiyah pernah dijebloskan ke penjara Kairo (1306 M) karena prinsip hidupnya yang teguh. Ia konsisten mempertanggungjawabkan tulisannya tentang sifat- sifat Tuhan, yang dinilai penguasa menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Pernah ketika di Irak, segolongan ulama melaporkan pada pihak pemerintah tentang pola pikirnya yang dianggap menyimpang. Pada tahun yang sama, pemerintah Damaskus mengusirnya ke Iskandariah, atau diperbolehkan tinggal di penjara Damaskus dengan syarat menghentikan kritikannya pada pemerintah, serta menghentikan fatwa-fatwa kontroversialnya.
Selesai menjalani hukuman, pada tanggal 11 Maret 1310 Masehi, Ibnu Taimiyah kembali ke Kairo dan tinggal di sana sambil menulis buku dan mengajar. Selang pergantian pemerintah, Ibnu Taymiyah ditunjuk selaku konsultan oleh Sultan Al-Malik al-Nasir. Beberapa tahun berikutnya, sepulang dari tugas kemanusiaan di Palestina (Yerusalem), ia kembali ke Damaskus, mengajar selaku dosen di perguruan tinggi hingga meraih gelar profesor. Saat itu, di usianya yang ke-54 tahun, ia terus meluncurkan konsep-konsep pembaharuan Islam, yang dianggap riskan dan membahayakan oleh sebagian kalangan ulama.
Ia mengemukakan dan mempertahankan kebenaran yang diyakininya walaupun di hadapan ratusan ulama senior yang berafiliasi dengan pihak pemerintah. Pada bulan Juli 1326 Masehi, Ibnu Taymiyah ditangkap dan dijebloskan ke penjara untuk ke sekian kalinya. Ia dimasukkan sel isolasi hingga tak dapat berkomunikasi dengan siapapun.
Waktu dan kesempatan itu dimanfaatkan untuk menulis tafsir Alquran dan karya-karya filosofis lainnya. Sampai kemudian, muncullah pelarangan terhadap siapapun yang mengirim kertas untuknya. Bahkan, satu buah pena yang diantarkan, akan disita di pintu gerbang, dilarang keras dan jangan sampai jatuh ke tangan Ibnu Taymiyah.
Murid-murid Ibnu Taymiyah
Banyak sekali murid Ibnu Taymiyah, baik mereka yang belajar langsung di hadapan majlisnya, maupun yang tekun mempelajari kitab-kitabnya. Sebagai ulama terkenal yang berpikir kritis, ia tampil secara fenomenal mengingat kondisi pemikiran Islam yang jumud dan statis di zamannya. Belum lagi, adanya perang pemikiran di antara kekhalifahan Islam, juga dalam hubungannya dengan dominasi non-muslim (Nasrani). Di antara murid-murid yang konsisten meneruskan jejak-langkahnya, antara lain Jamaluddin Abu al-Hajjaj, Syarifuddin Abu Muhammad al-Manja, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad, Shalahuddin Abu Said Khalil, Al-Mufti Zainuddin Ubadah, dan banyak lagi yang lainnya.
BACA JUGA: Kebebasan dan Kerancuan Filsafat Barat
Karya-karya Ibnu Taymiyah memiliki bobot kualitas yang akurat dan ilmiah, dan terus menjadi banyak rujukan kaum akademisi dan cendekiawan muslim hingga saat ini. Ia telah menghasilkan ratusan karya ilmiah yang
bermutu, dalam kondisi keterbatasan ruang dan waktu, lantaran otoritarianisme penguasa yang berkolaborasi dengan lembaga agama yang dilindunginya.
Sampai saat ini, banyak kalangan akademisi Indonesia yang terus merujuk pada hasil analisis dan pemikirannya tentang tauhid, aqidah, politik, hukum hingga filsafat. Diperkirakan buku-buku yang pernah ditulisnya, dari ukuran tipis hingga tebal, sekitar 300 hingga 500 judul buku. Bebarapa buku hilang, dan beberapa di antaranya raib, karena mengalami penyitaan dan pembredelan oleh pihak penguasa.
Terobosan Ibnu Taymiyah
Pemikiran Ibnu Taimiyyah nampaknya berbeda dengan sebagian ulama yang berpegang-teguh pada aqidah Asy’ariyah, terutama pada mazhab Maliki, Syafi’i hingga Hanbali. Ia berseberangan dengan pendapat mereka yang menurutnya banyak mengacu pada “taqlid” dalam persoalan-persoalan hukum. Ia menolak anggapan sebagian ulama yang mengacu pada kepercayaan-kepercayaan yang dinilainya konservatif dan ortodoks.
Bahkan, dalam beberapa karyanya, ia pun menentang konsep metafisika yang pernah dikemukakan filosof muslim Ibnu Arabi. Ia pun nampak berbeda dengan wacana filosofis Al-Farabi, Ibnu Sina, Ar-Razi, Al-Syahrastani, juga pernah menyoal beberapa aspek dari sejumlah pandangan teologis Imam Al-Ghazali.
Ibnu Syakir al-Kurtubi dalam bukunya “Uyun at-Tawarikh” dan Ibnu Mua’llim al-Qurasyi dalam bukunya “Najmul Muhtadi wa Rajmul Mu’tadi” menyampaikan kesaksian adanya empat ulama yang menjabat hakim agung (qadli) yang memutuskan pencekalan terhadap karya-karya Ibnu Taymiyah, sampai kemudian dijebloskan ke dalam penjara. Di antara empat ulama yang menjabat hakim agung tersebut adalah al-Mufassir Badruddin Muhammad (dari mazhab Syafi’i), Muhammad ibn al-Hariri (dari mazhab Hanafi), Muhammad Ibnu Abu Bakr (dari mazhab Maliki) dan Ahmad Ibnu Umar al-Maqdisi (dari mazhab Hanbali).
BACA JUGA: Derajat Mahabbah Ibnu Athaillah
Terobosan menarik dari pemikiran Ibnu Taymiyah, ketika ia menilai persoalan mantiq dan filsafat yang dianggap asas paling utama untuk memaknai wahyu (Alquran). Menurutnya, tanpa metode filsafat dari Yunani pun, orang Islam dapat dimungkinkan melakukan rekonstruksi pemikiran kalamnya sendiri, yakni dengan merombak tradisi konservatif yang terlalu usang dan kaku, melalui ruang ijtihad, di mana akal pikiran dapat melakukannya secara merdeka dan berdaulat.
Di sini nampak dilematis, karena di satu sisi aqidah Asy’ariyah hingga mazhab Syafi’i juga banyak mengacu pada logika berpikir dan filsafat Yunani, namun di sisi lain Ibnu Taymiyah yang mementingkan “kebebasan berpikir” justru berpendapat bahwa para mujtahid di kalangan muslimin dianggap sanggup merumuskan konsep aqidahnya sendiri secara independen. Sebab menurutnya, sesuatu yang bernama “ilmu” baik dari Yunani, Persia maupun Arab, merupakan karunia Tuhan secara universal, yang berhak dieksplorasi oleh kemampuan akal pikiran manusia. []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.