IBNU Thufail mempunyai nama lengkap Abu Bakar bin Abdullah Malik bin Muhammad bin Thufail al-Qadisi al-Andalusi. Orang Barat biasa memanggil dengan sebutan ‘Abubacer’.
Beliau lahir pada dekade pertama abad ke-6 H/ke-12 M di Guandix, sebuah kota kecil di Spanyol kira-kira 60 km utara Granada dan termasuk keluarga dari suku Arab Qais.
Setelah beranjak dewasa, Ibnu Thufail berguru kepada Ibnu Bajjah, seorang ilmuwan besar yang memiliki banyak keahlian.
BACA JUGA: Sosok Ibnu Taimiyyah, Ulama Besar yang Zuhud
Di bawah bimbingan Ibnu Bajjah yang multitalenta, Ibnu Thufail berkembang menjadi seorang ilmuwan besar. Beliau adalah seorang filsuf, dokter, novelis, ahli agama, dan penulis.
Beliau menguasai ilmu hukum dan ilmu pendidikan serta termasyhur sebagai seorang politikus ulung sekaligus filsuf Muslim paling penting kedua (setelah Ibnu Bajjah) di Barat.
Awalnya beliau adalah seorang yang ahli dalam bidang kedokteran dan menjadi terkenal di bidang tersebut. Ketenaran beliau sebagai seorang dokter membuatnya terkenal di dalam pemerintahan sehingga beliau diangkat sebagai sekretaris oleh Gubernur Granada. Kemudian beliau pindah menjadi sekretaris pribadi Gubernur di wilayah Ceuta.
Nama beliau kian terkenal sehingga beliau diangkat oleh Abu Ya’qub Yusuf Al-Manshur, khalifah daulah Muwahhidin, menjadi dokter pribadi sekaligus sebagai wazir khalifah. Khalifah juga meminta Ibnu Thufail untuk menguraikan buku-buku Aristoteles.
Kemudian beliau mengajukan Ibnu Rusyd, salah seorang muridnya yang sukses, untuk memenuhi tugas tersebut. Ibnu Rusyd diterima dengan baik oleh khalifah dan menunaikan tugasnya dengan baik.
BACA JUGA: Cara Ibnu Abbas Mendapatkan Ilmu
Salah satu buah pemikiran Ibnu Thufail tentang filsafat adalah:
“Ada dua jalan untuk mengenal Tuhan, yaitu dengan jalan akal atau dengan jalan syariat. Kedua jalan tidaklah bertentangan, karena akhir daripada filsafat adalah mengenal Allah (ma’rifatullah). Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan”.
Ketika usia beliau sudah lanjut, beliau meminta berhenti dari jabatannya. Meskipun sudah bebas dari jabatan, tapi penghargaan Abu Ya’qub masih diterima oleh Ibnu Thufail. Bahkan seletah Khalifah Abu Ya’qub meninggal dan digantikan oleh anaknya. []