Oleh: Endah Husna
Anggota komunitas Jelajah Pena
endah.husna15@gmail.com
Kasih ibu
Kepada beta
Tak terhingga
Sepanjang masa
Hanya memberi
Tak harap kembali
Bagai sang surya
Menyinari dunia
SYAIR lagu di atas masih melekat erat dalam ingatanku. Betapa sosok ibu yang penuh kasih selalu menyertaiku sepanjang waktu. Pantaslah jika kasih ibu ‘bagai sang surya menyinari dunia.’ Sebagaimana matahari yang dengan penuh keikhlasan tanpa beban memberikan sinarnya tanpa meminta balasan.
Namun kini aku telah kehilanganmu ibu. Ibu, dimanakah dirimu? Sosok yang penuh kasih itu telah lama pudar dari hadapanku. Sinar suryanya yang terang benderang mulai redup bahkan nyaris hilang.
Duka dan lara aku rasakan ketika menyaksikan betapa ibu sudah tidak seperti dulu. Ibu terlalu sibuk dengan kehidupan barunya hingga diriku yang terlebih awal hadir di sisimu dan pernah tinggal selama sembilan bulan dalam kandunganmu, ternyata sekarang hanya seperti angin lalu bagimu. Maafkan aku ibu jika terlontar kalimat seperti itu. Ini semua karena aku sangat sayang padamu dan masih sangat butuh kasih sayangmu ibu.
Dalam kehidupan sekarang tidak semua wanita menjalankan peran mulia menjadi pengatur rumah tangga dan pendidik anak dengan baik. Ada yang lebih suka menitipkan anaknya ke pembantu atau tempat penitipan anak demi mengejar karir. Ada pula yang menitipkan anaknya di sekolah-sekolah, karena tidak sedikit juga yang memilihkan anak-anak mereka di sekolah full day dengan biaya seberapapun mahalnya. Mereka rela karena para orang tua, khususnya ibu beranggapan bahwa cara itu cukup jitu bagi anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang “layak.”
Sementara di sisi lain sang ibu asik bekerja dengan mengejar karirnya. Jika hal tersebut terjadi, masih pantaskah surga berada di bawah telapak kaki ibu yang seperti itu? Ingatlah akan sabda Rasulullah SAW ini agar kita selalu ingat betapa mulianya peran ibu dalam Islam :
“Wanita yang sedang hamil dan menyusui sampai habis masa menyusuinya seperti pejuang di garis depan fii sabilillah. Dan jika ia meninggal di antara waktu tersebut, maka sesungguhnya baginya adalah pahala mati syahid.” (HR. Thabrani)
Tak bisa dipungkiri bahwa sistem kapitalis-sekularis lah yang telah merusak keadaan ini semua. Sistem yang rusak inilah yang telah menggeser peran ibu yang sesungguhnya. Para wanita (ibu) yang bekerja mengejar karirnya memiliki strata yang lebih tinggi dibandingkan dengan para ibu yang hanya tinggal di rumah untuk mengurus rumah dan anak-anak.
Sebenarnya Islam telah memiliki pandangan yang unik (khas) mengenai peran ibu. Islam memandang bahwa seorang ibu tidak dilarang melakukan aktifitas di luar rumah seperti bekerja demi meniti karir ataupun berdakwah asalkan hal tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab utamanya menjadi seorang ibu, sebagaimana yang diatur dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 233 :
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf…”
Selain syarat di atas tentunya ada syarat-syarat lain yang wajib dipenuhi oleh seorang ibu yang ingin melakukan aktifitas keluar rumah, khususnya bekerja. Seorang ibu selaku istri harus mendapat ijin dari suami, harus dipastikan juga tidak boleh terjadi khalwat di tempat kerja, tidak boleh tabaruj, wajib memakai pakaian yang syar’i yaitu berkerudung dan berjilbab.
Allah SWT sebagai Al Khaliq (Sang Pencipta) begitu memuliakan seorang ibu. Mengapa justru kita menafikkannya? Pastinya semua aturan yang telah diturunkan oleh Allah SWT melalui syari’at Islamnya akan mengantarkan kepada kebaikan, termasuk di dalamnya dalam menempatkan posisi ibu yang sungguh mulia sehingga anak-anak tak perlu lagi berduka lara mencari dimanakah ibunya berada?
Mari kita kembalikan peran ibu yang sangat mulia dengan syari’at-Nya. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.