PARA ulama’ sepakat akan bolehnya Ibu hamil dan menyusui untuk berbuka/tidak puasa apabila khawatir akan terjadinya kemudharatan kepada dirinya, atau anaknya, atau dua-duanya. Adapun konsekwensinya setelah itu, maka dalam madzhab Syafi’i diperinci menjadi dua keadaan:
(1). Jika mengkhawatirkan terhadap dirinya saja, atau terhadap dirinya dan anaknya, maka mengqadha’ (mengganti) sesuai dengan jumlah puasa yang ditinggalkan, tanpa membayar fidyah. Kondisi ini diqiyaskan kepada orang sakit (yang masih diharapkan kesembuhannya), karena sifatnya temporer (sementara waktu /tidak terus menerus). Dalilnya firman Allah Ta’ala :
فَمَنْ كانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barang siapa diantara kalian yang sakit atau sedang safar, hendaknya dia mengganti (puasanya) di waktu yang lain.” [QS. Al-Baqarah : 184].
BACA JUGA: Ini Alasannya Ibu Hamil Tidak Boleh Konsumsi Jeroan
Nabi ﷺ juga bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلَاةِ، أَوْ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنِ الْمُسَافِرِ، وَعَنِ الْمُرْضِعِ، أَوِ الْحُبْلَى
“Sesungguhnya Allah ta’ala telah menggugurkan setengah salat serta puasa dari seorang musafir dan wanita yang menyusui atau wanita yang hamil.” [HR. Abu Dawud : 2408].
Maksud hadis di atas adalah : diringankan salat dengan cara diringkas yang empat rekaat menjadi dua rekaat, dan diberi keringanan pada puasa untuk berbuka dengan cara mengqadha’nya (menggantinya) di waktu yang lain.
(2). Apabila mengkhawatirkan anaknya saja, maka mengqadha’ plus WAJIB membayar fidyah sesuai jumlah hari yang ditinggalkan. Ibnu Abbas –radhiallahu ‘anhu- saat menafsirkan firman Allah : “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” [QS. Al-Baqarah : 184] beliau berkata :
وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذاَ خَافَتَا ـ يَعْنِيْ عَلَى أَوْلاَدِهِمَا ـ أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا
“Wanita hamil dan menyusui apabila mengkhawatirkan anaknya, boleh berbuka (dengan konsekwensi mengqadha’) dan memberi makan (fidyah).” [ Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thobari dalam “Tafsirnya” : 3/413 No : 2752 dan 2753, Ibnul Jarud dalam “Al-Muntaqo” : 381 dan Al-Baihaqi : 340 dan sanadnya shahih].
Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata :
قَالَ أَصْحَابُنَا: الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إنْ خَافَتَا مِنْ الصَّوْمِ عَلَى أَنْفُسِهِمَا أَفْطَرَتَا وَقَضَتَا وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِمَا كَالْمَرِيضِ وَهَذَا كُلُّهُ لَا خِلَافَ فِيهِ وَإِنْ خَافَتَا عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَوَلَدَيْهِمَا فَكَذَلِكَ بِلَا خِلَافٍ صَرَّحَ بِهِ الدَّارِمِيُّ وَالسَّرَخْسِيُّ وَغَيْرُهُمَا وَإِنْ خَافَتَا عَلَى وَلَدَيْهِمَا لَا عَلَى أَنْفُسِهِمَا أَفْطَرَتَا وَقَضَتَا بِلَا خِلَافٍ وَفِي الْفِدْيَةِ هَذِهِ الْأَقْوَالُ الَّتِي ذَكَرَهَا الْمُصَنِّفُ (أَصَحُّهَا) بِاتِّفَاقِ الْأَصْحَابِ وُجُوبُهَا كَمَا صَحَّحَهُ الْمُصَنِّفُ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ فِي الْأُمِّ وَالْمُخْتَصَرِ وَغَيْرِهِمَا
“Para sahabat kami menyatakan : Wanita hamil dan menyusui, jika keduanya khawatir terhadap dirinya apabila berpuasa, maka mereka boleh berbuka dan mengqadha’nya (menggantinya) tanpa ada fidyah bagi keduanya sebagaimana orang sakit. Hal ini semuanya tidak ada perselisihan. Demikian juga (diwajibkan qadha’) jika khawatir terhadap diri dan anaknya tanpa ada perselisihan. Hal ini dinyatakan secara jelas oleh Ad-Darimi, As-Sarakhsi dan selain keduanya. Jika khawatir terhadap anaknya, bukan kepada dirinya, maka berbuka tanpa ada perselisihan. Dalam masalah (tambahan) fidyah (bagi jenis ini), maka ada beberapa pendapat yang disebutkan oleh pengarang (Asy-Syirazi). Yang paling shahih, wajibnya fidyah dengan kesepakatan para sahabat (ulama’ syafi’iyyah) sebagaimana telah dishahihkan hal ini oleh pengarang, dan ia juga telah dijelaskan di dalam kitab “Al-Umm” , “Al-Mukhtashar”, dan selain keduanya.” [ Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 6/267 ].
BACA JUGA: Ini Hukuman Mengerikan bagi Gadis Hamil di Luar Nikah di Uganda
Pada intinya, wanita yang hamil dan menyusui wajib mengqadha’ hari yang mereka tinggalkan, bukan membayar fidyah. Karena jika kita lihat dari sisi qiyas, maka keduanya lebih mirip kepada orang sakit yang berifat temporer. Ini tidak hanya madzhab Syafi’iyyah saja, akan tetapi juga pendapat jumhur. Hanya saja, dalam perincian masalah sesuai dengan kondisi yang melatarbelakangi serta tambahan adanya fidyah, madzhab Syafi’i memiliki pendapat tersendiri sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Keterangan: Fidyah menurut madzhab Syafi’iyyah ukurannya satu mud = 1 ⅓ Rithl Baghdad dari makakan pokok suatu negeri untuk tiap harinya. Jika dikonversi dengan ukuran sekarang, kurang lebih : 600 gram. []
Facebook: Abdullah Al Jirani