PERNAHKAH kita melihat ibu kita sedang membereskan pekerjaannya di rumah? Sangat sibuk dan kompleks kan pekerjaannya? Iya betul sekali, amat sangat sibuk! Namun, beliau tetap mengerjakannya sendiri tanpa mengeluh sama sekali. Atau pernahkah ibu kita meminta bayarannya selama kita mengandung dan selama kita makan di rumahnya sampai saat ini? Saya yakin, hal tersebut belum ada sepanjang sejarah.
Itulah ketulusan seorang ibu. Dia tidak akan pernah meminta bayaran sepeser pun selamanya kepada kita. Ketulusannya itu bagaikan seluas dunia ini. Bagaimana pun nakalnya kita, tidak mau diatur, tetapi beliau dengan sabar menasihati hati. Ketika kita sedang sakit beliau pun tetap melayani kita dengan sepenuh hati.
Saya teringat saat sedang sakit, orang yang pertama kali merawat saya tidak lain adalah ibu saya sendiri. Saat itu kondisi saya tidak bisa bangun. Segalanya dilayani oleh ibu. Bahkan sampai malam pun saya merengek-rengek bak bayi karena saking sakitnya. Saat itu, ibu menenangkan dengan kata-kata yang lembut penuh cinta sambil menepuk-nepuk dan mengusap punggungku. Saat itu saya merasakan aliran kasih sayangnya menjalar ke seluruh tubuh ini, perlindungannya yang nyaman, kehangatannya, semua saya rasakan. Saat ini serasa hilang tiba-tiba. Kedamaian dan ketenangan merasuki jiwa. Akhirnya, saya bisa tertidur hingga pagi. Ibu saya barangkali terjaga sampai saya bangun, atau mungkin beliau tertidur karena kelelahan. Saya tidak tahu, saking pulasnya.
Sahabat, banyak sekali hal yang dirasakan dengan ketulusan seorang ibu, dan semua itu tidak akan pernah kita lupakan. Dia berikan kepada kita secara gratis meski nyawa taruhannya. Pengorbanan ibu yang selama ini kita rasakan itu adalah murni. Ia ingin memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Apapun ia lakukan dengan penuh kerelaan untuk anak-anaknya.
Mari kita renungkan! Sejak kecil ibu merawat kita. Ketika makan, ibu yang menyiapkan untuk kita bahkan mungkin sampai sekarang semuanya masih disiapkan meski kita sudah dewasa. Baginya, anaknya tetap anaknya. Beliau tidak pernah pandang bulu. Meski kita sudah dewasa, tetap beliau melayani kita dengan setulus hati seorang ibu yang dicurahkan kepada sahabat semua. Cara mencurahkannya pasti berbeda-beda, dan itu akan dirasakan oleh semua orang yang mempunyai ibu. Betapa lembutnya, terasa sampai ke hati.
Sejelek apa pun kita, beliau tidak pernah membuka aib kita ke orang lain. Tingkah laku kita yang buruk, selalu dirahasiakannya, ditutup rapat. Yang ia pandang hanyalah gambaran positif dari anaknya. Tidak seorang ibu menyebarkan kejelekan anaknya. Seandainya ada, hanya segelintir orang tua saja.
Sahabat, suatu saat kita pasti merasakan betapa pentingnya seorang ibu di kehidupan kita. Barangkali saat ini kita masih acuh tak acuh terhadap ibu kita, terkadang kita suka cuek kepadanya, dan bahkan tidak memedulikannya, mungkin dengan alasan sudah berkeluarga lah, alasan bahwa kita sudah dewasa lah, apa pun itu. Bahkan mungkin kita sebagai anak, pernah merasakan ketika sudah masuk sekolah. Ketika sudah kerja pun bahkan seperti itu. Saat ibu datang dari kampong dan ingin bertemu kita di tempat kerja kita, lalu saat ada orang yang bertanya siapa dia, kita merasa malu untuk memperkenalkannya, atau merasa risih. Yakinlah, jika kita berbuat jelek terhadap ibu kita, kita tidak akan merasakan berkahnya hidup. Ya, itu hanya segelintir orang saja.
Rasakan semuanya, sahabat! Ibu kita tidak akan pernah merasakan beban dalam hidupnya untuk mengasuh dan merawat beban dalam hidupnya untuk mengasuh dan merawat kita meski fisik kita capek, bahkan terkadang beliau rela terlambat dan bahkan barangkali tidak makan demi mendahulukan anak-anaknya. Beliau tetap kuat dan sabar serta ikhlas memberikan sesuatu yang terbaik untuk kita. []
Sumber: Sang Bidadari/ Karya: Sendi Rizaldi Supriadi Putra/ Penerbit: Hakim