SUATU malam menjelang dinihari, Khalifah Umar bin Khaththab bersama seorang pembantunya melakukan inspeksi ke pinggiran kota.
Dari salah satu rumah yang dilewatinya, Umar mendengar percakapan dua orang wanita, ibu dan anaknya.
“Campur saja susunya dengan air agar lebih banyak,” demikian suara si ibu.
“Bagaimana aku bisa melakukannya sedangkan Khalifah telah mengeluarkan peraturan yang melarangnya?” si anak terdengar menukas.
“Khalifah tidak akan mengetahuinya.”
“Kalau Khalifah tidak mengetahuinya, maka pasti Allah mengetahuinya,” tolak si anak itu.
Percakapan di antara kedua ibu beranak itu membuat Umar terdiam. Ia menundukkan kepalanya.
Keesokan harinya ia menyuruh pembantunya untuk menyelidiki kedua wanita itu. Setelah diketahui bahwa puteri sang ibu itu adalah seorang gadis, lalu Umar memanggil puteranya ‘Ashim, dan menawarkan gadis itu untuk dinikahinya, dan disuruhnya puteranya untuk melihat secara langsung paras wajahnya, seraya berpesan kepadanya,
“Pergilah wahai anakku. Lihatlah gadis itu, nikahilah dia, dan aku berharap dia akan melahirkan seorang pahlawan yang mampu memimpin umat.”
Pernikahan pun berlangsung, dan dari mereka lahir seorang perempuan yang kemudian dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Kemudian dari pernikahan itu lahirlah Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang sangat termasyhur keadilannya. []