Oleh: Asep Saepul Malik
STAI DR. Khez. Muttaqien Purwakarta
saepulmalik92@gmail.com
LEBARAN tiba….lebaran tiba….begitulah ucap salah seorang gadis di desa penulis. Sebut saja Neneng yang berusia 17 Tahun, ia sangat antusias menyambut kedatangan tamu agung di penghujung ramadhan yakni idul fitri. Karena antusiasnya, sampai –sampai ia nyanyi lip sing sendiri, menyanyikan lagu-lagu lebaran. All to be special in the Eid.
Idul fitri dan sejuta cerita. Agenda tahunan yang selalu diperingati oleh umat muslim sedunia, serta menjadi momentum sakral untuk dijalankan. Lantunan takbir berkumandang disetiap mesjid-mesjid, memuja asma Allah, menyambut kemenangan di hari yang fitri. Cahaya kembang api, suara petasan, atribut ketupat, bunyi dulag adalah warna dalam menyambut hari raya idul fitri.
Suasana meriah, penuh haru, tangis bahagia, setelah bergelut melawan hawa nafsu sebulan lamanya. Orangtua senang, anak-anak bahagia, yang miskin bangga, yang kaya pun tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata. Betapa mulia saat idul fitri telah di depan mata. Jurang pemisah seakan hilang dari setiap kasta.
Minal aidzin wal faidzin adalah slogan yang identik dalam menghiasi idul fitri. Tidak saja diucapakan face to face, slogan itu juga secara kreatif disampaikan lewat BBM, WA, dan facebook. Dihiasi dengan desain warna, animasi-animasi lucu demi memeriahkan hari kemenangan. Tak sampai disana, beragam status di akun jejaring social ramai bertuliskan selamat hari raya idul fitri mohon maaf lahir dan batin.
Makanan melimpah, baju baru, sepatu baru, sandal baru, celana baru, pokoknya semua serba baru. Mungkin kalau tidak baru rasanya malu.!
Kaum ibu atau anak-anak sekalipun merenggek minta dibelikan baju baru. Yah, sebagai hadiah, kalau bahasa kolot mah : “ Mun si ujang tamat puasana pasti di pangmeserkeun acuk sae”. Biasanya disebut juga dengan baju dulag. Itulah hadiah untuk membahagian sanak keluarganya. Rasanya kurang afdhol jika idul fitri tidak serba baru. Hampir semua kebutuhan di update guna terlihat memukau, indah dan menyenangkan di depan orang-orang.
Kultur hedonistik yang masih terpatri dalam setiap momentum besar yang masih diaplikasikan oleh beberapa saudara kita dan salah satunya dalam perayaan idul fitri ini. Selanjutnya, agenda liburan, refreshing (mengunjungi tempat –tempat pariwisata), memadati jalan-jalan, berpasang-pasangan, walau untuk sekedar konvoi, memanjakan mata dan melepas penat adalah potret budaya yang masih kontras berjalan.
Tetapi tak sedikit dari kegiatan tersebut berpotensi mendatangkan kemudharatan, bahkan kesedihan. Entah karena, kecelakan, jatuh terluka karena rela berdesak-desakan. Mungkin sedikit berbeda dengan bermudik, karena orientasinya sampai pada kampung halaman tercinta. Tidak sekedar memadati jalanan semata. Meskipun realitanya yang tak mudik pun ikut bedesak-desakan di jalanan.
Aktualisasi puasa ramadhan dan closing ceremony melalui idul fitri. Kemudian, setelahnya diisi dengan ragam kegiatan hedonistik yang mampu memberikan kesenangan dan kepuasaan lebih. Tetapi, tak sadarkah bahwa dari kesenangan dan kepuasaan yang berlebihan hanya akan mendatangkan kemudharatan. Propaganda kaum kapitalis memang sangat pintar dalam membius umat muslim hari ini dan merekalah yang membawa profit besar-besaran.
Apakah itu hakikat dari idul fitri ?
Haruskah perayaan idul fitri ditutup dengan kegiatan-kegiatan hedonisme?
Sepertinya kesucian idul fitri hari ini telah tersanderakan dengan kegiatan-kegiatan yang berlebihan yang menitik beratkan pada kepuasan dan kesenangan belaka. Identitas umat muslim sejatinya hilang dan malah rela menjadi follower budaya barat. Selalu ingin tampil glamour dan besar. Tidak memikirkan sebab akibat dan manfaat dari setiap kegiatan yang dilakukannya. Asalkan senang (happy fun), semua dijalankan untuk memenuhi hasrat dan hawa nafsu semata. Ironis, jika setiap tahun idul fitri dengan ending jatuh terintervensi budaya barat yang jelas-jelas mendoktrin kita untuk berfoya-foya, bersenang-senang dan pesta pora.
Dalam kamus bahasa Indonesia hedonisme diartikan suatu pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Menurut Pospoprodijo (1999 : 60) hedonisme adalah kesenangan atau kenikmatan sebagai tujuan akhir hidup dan yang baik, yang tinggi. Artinya bahwa kesenangan dan kenikmatan menjadi prioritas utama sekaligus menjadi prinsip dalam hidup menuju pada kebahagiaan. Akan tetapi dalam konsep Islam tidak selamanya kenikmatan, kesenangan bahkan kepuasan tersebut di anggap baik. Seperti halnya, mabuk, berzinah, bergaul bebas dengan lawan jenis, itu adalah unsur-unsur yang mampu memberi kesenangan namun, dilarang oleh hukum Islam. Relevansinya dengan idul fitri pun demikian, tidak seharusnya idul fitri dibumbui dengan nuansa-nuansa hedonisme yang memberikan kebebasan atau kegiatan negatif.
Coba kita berkontemplasi sejenak. Apakah kita tidak sayang dengan amal-amalan puasa kita yang dikerjakan selama satu bulan lamanya? Menahan haus, lapar, shalat tarawih, tadarus Al-Qur’an dan bersedakah, tetapi dipenghujung lebaran harus direduksi kembali dengan kegiatan-kegiatan hedonistik dan negative action yang mampu menghapus amalan-amalan tersebut. Tak pernahkah mindset kita sampai kesana? output puasa sepertinya tidak berbekas sama sekali. Bukankah selama berpuasa kita sering mendengarkan seruaan ayat, bahwa puasa harus la’allakum tattaqun (agar bertaqwa kepada Allah SWT). Sayangnya, taqwa tesebut belum mampu melegitimasi ke dalam hari-hari atau bulan-bulan lain setelah berpuasa.
Apa yang salah hari ini?
Ataukah memang kultur barat yang sudah kental mencekoki kita?
Mungkin benar, berhari raya itu mudah, tetapi untuk beridul fitri yang sangat sulit, meminjam pemikiran Cak Nun sebagaimana yang dikutip dari islamcendikia.com (06/07/16) bahwa definisi idul fitri adalah kembalinya fithrah atau kembali ke muasal. Bagaikan manusia yang terlahir kembali menjadi bayi. Bayi yang dilahirkan dalam keadaan suci belum tergores tinta sedikitpun.
Maka sudah jelas umat muslim semestinya menangkap apa yang menjadi hakikat idul fitri itu. Analogi bayi yang baru lahir adalah lambang kesucian yang harus terjaga dalam diri kita ini. Tidak boleh terkontaminasi kembali oleh hal-hal negatif yang mampu menutupi kesucian fitrah manusia.
Hakikat idul fitri tampaknya belum bisa didapatkan sepenuhnya ketika selesai berpuasa, karena memang perayaannya selalu identik dengan kegiatan-kegiatan yang berlebihan.
Al-Qur’an membenci orang yang selalu berlebih-lebihan dalam hidupnya.(al-Isra (7) : 31). Maka, tak semestinya perayaan idul fitri direduksi dengan hal-hal yang berlebihan, apalagi sampai memberikan kemudharatan, sungguh itu bukan cerminan dari orang-orang yang termasuk kedalam taqwa tersebut.
Gerbang ramadhan adalah bulan untuk mencetak karakteristik umat muslim ke arah taqwa, bukan setelahnya menyambung kemudharatan. Menjadikan amal ibadah sia-sia (nonsens).
Sejatinya umat muslim enggan menjadikan itu sebagai kultur abadi di setiap tahun. Idul fitri selalu tersanderakan kesuciannya.
Tersanderakan menjadi tawanan/ditangguhkan yang berarti kesucian dan hakikatnya belum kita dapatkan. Hedonisme terus diestafetkan kepada anak cucu kita hingga kemudharatannya tidak terputus mengalir sampai kita meninggal nanti.
Oleh karena itu, mulailah saat ini umat muslim berintropeksi diri. Berkontemplasi kembali, memperbaiki apa yang menjadi kesalahan-kesalahan kita. Jangan mengulangi kesalahan yang kedua “Tidak Jatuh Ke Lubang Yang Sama” tetapi menuju ke arah hidup yang lebih baik dan berkah.(Jiyadatul khair)
Setiap manusia wajar menginginkan kesenangan dan kebahagian. Namun, unsur itu tidak seharusnya di eksplorasi secara berlebih, karena dalam agama berlebih-lebihan adalah unsur yang sangat di benci. Sample sederhana, bagaimana jikalau anda makan sudah kenyang, tetapi makanan anda terus dipaksakan masuk kedalam perut anda ? alhasil pasti kita merasa tidak nyaman, bahkan anda mengalami muntah-muntah. Begitu pun dengan kesenangan dan kenikmatan yang berlebihan. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.