Oleh: H. Zulhamdi M. Saad, Lc
”Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (”iffah diri)-nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS An Nuur: 33).
SEORANG salafusholih yang bergelar Al-Miski karena tubuhnya yang wangi, Abu Bakar Al-Miski pernah ditanya, “Kami selalu mencium aroma wangi ketika bertemu dengan Anda, apa rahasianya?”
Al-Miski menjawab, “Demi Allah, aku tidak pernah memakai wewangian seumur hidupku. Adapun sebab tubuhku selalu wangi adalah; dulu ada seorang wanita yang menggodaku, hingga ia mampu mengajakku ke dalam rumahnya lalu mengunci pintunya, kemudian ia memaksaku agar aku mau melayani nafsunya, sehingga aku rasakan dunia terasa begitu sempit saat itu.
Maka aku berkata kepadanya; aku ingin membersihkan diriku dulu. Lalu ia menyuruh pembantunya mengantarkanku ke kamar kecil. Ketika aku berada di sana, akupun langsung mengambil kotoran yang berada di dalam kamar kecil itu dan melumurkannya ke seluruh tubuhku, kemudian aku kembali menemui wanita tersebut dengan tubuh yang berlumuran kotoran dan sangat bau. Ketika ia melihatku, iapun terkejut dan menyuruh pembantunya untuk mengusirku dari rumahnya.
BACA JUGA: Fatimah bintu Rasulullah, Kesucian Menjaga Aurat dari yang Bukan Mahram
Aku segera pulang, kemudian mandi dan membersihkan diriku. Ketika aku tidur di malam harinya, aku bermimpi ada seseorang yang berkata kepadaku; Engkau telah melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh siapapun, sungguh kami akan mengharumkan tubuhmu di dunia dan di akhirat. Ketika aku bangun maka aroma wangi menyelimuti diriku dan hal itu berlangsung sampai saat ini.” (Kitab Al-Jaza’ min Jinsil ‘Amal, Al-‘Affani,)
Secara bahasa ‘iffah adalah menahan dan menjaga. Adapun secara istilah; menahan diri dari perkara-perkara yang Allah haramkan. Dengan demikian seorang yang ‘afif adalah orang yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan walaupun jiwanya menginginkannya.
Di dalam Al Qur’an, disebutkan lafazh “Isti’faf” maksudnya adalah: “Permintaan untuk menjaga diri dari sebab-sebab kerusakan, menjauhkan diri dari perbuatan zina dan fitnah wanita.” Hal tersebut sebagaimana firman Allah Swt: “Dan orang-orang yang belum mampu untuk menikah hendaklah menjaga kesucian diri sampai Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya.” (QS. An Nuur: 33)
Termasuk dalam makna ‘iffah adalah menahan diri dari meminta-minta kepada manusia. Allah SWT berfirman:”Orang yang tidak tahu menyangka mereka itu adalah orang-orang yang berkecukupan karena mereka ta’affuf .” (QS. Al Baqarah: 273)
Dalam hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri ra mengabarkan bahwa orang-orang dari kalangan Anshar pernah meminta-minta kepada Rasullah SAW. Tidak ada seorang pun dari mereka yang minta kepada Rasulullah SAW melainkan beliau berikan hingga habislah apa yang ada pada beliau. Rasulullah SAW pun bersabda kepada mereka: “Apa yang ada padaku dari kebaikan tidak ada yang aku simpan dari kalian. Sesungguhnya siapa yang menahan diri dari meminta-minta, maka Allah akan memelihara dan menjaganya dan siapa yang bersabar dari meminta-minta, maka Allah akan menjadikannya sabar. Dan siapa yang merasa cukup dengan Allah dari meminta kepada selain-Nya, maka Allah akan memberikan kecukupan padanya. Tidaklah kalian diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Itulah dua makna dari ‘iffah, yaitu menahan dan menjaga diri dari syahwat kemaluan, dan menahan diri dari syahwat perut dengan cara meminta-meminta.
‘Iffah merupakan akhlak paling tinggi dan dicintai Allah SWT. Oleh sebab itulah sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki kemampuan dan daya tahan terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua harus dituruti karena akan membahayakan saat telah dewasa. Dari sifat ‘iffah inilah akan lahir sifat-sifat mulia seperti: sabar, qana’ah, jujur, santun, dan akhlak terpuji lainnya.
Ketika sifat ‘iffah ini sudah hilang dari dalam diri seseorang, maka akan membawa pengaruh negatif dalam diri seseorang tersebut, dikhawatirkan akal sehatnya akan tertutup oleh nafsu syahwatnya, ia sudah tidak mampu lagi membedakan mana yang benar dan salah, mana baik dan buruk, yang halal dan haram.
Dengan memiliki sifat’ iffah seorang yang sudah dewasa akan mampu menahan dirinya dari dorongan syahwat, mengambil hak orang lain dan sebagainya. Namun ketika sifat itu sudah tidak dimiliki lagi maka secara otomatis pula tidak ada lagi daya tahan dalam dirinya. Sehingga pada saat sekarang ini sifat ‘iffah itu semakin mulai memudar dan menghilang dari masyarakat, kita sering mendapati perilaku mengumbar syahwat dan perzinahan semakin sulit untuk untuk dibendung.
Oleh sebab itulah, ‘iffah pada diri manusia merupakan sifat potensial yang harus dididik, ditanamkan serta dilatih secara sungguh-sungguh dalam diri manusia, sehingga bisa menjadi benteng dalam menjaga kemuliaan eksistensi dirinya.
Pentingnya sifat ‘Iffah ini ditanamkan dalam diri seorang muslim karena ia merupakan perintah agama yang banyak memberikan kebaikan serta keutamaan bagi seseorang yang memilikinya, di antara beberapa keutamaan itu adalah:
Pertama: Meraih pahala yang besar di akhirat
Allah SWT berfirman:”Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan dirinya, dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” (QS. Al A’la: 14-15)
“Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya”. (QS. Al Furqon: 75)
Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang menjaga lisan dan antara kakinya akan masuk surga.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Kedua: Mendapatkan ketenangan hati dan kenikmatan besar di dunia
Dengan menahan diri dari mengikuti syahwat perut dan syahwat kemaluan karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan kenikmatan yang lebih lezat dan abadi dari pada merasakan kenikmatan sesaat yang membahayakan dirinya sendiri, yaitu berupa ketenangan hati, rasa bahagia dan keluasan rezeki. Salafushalih berkata: “Demi Allah, lezatnya ‘Iffah itu lebih besar dari lezatnya dosa.”
Ketiga: Memberi jalan keluar dari kesukaran dan kesulitan
Allah Swt berfirman: “Siapa yang bertaqwa kepada Allah, Ia akan memberikan jalan keluar.” (QS. At Talaq: 2)
Suatu hari, di tengah para sahabatnya, Rasulullah SAW menceritakan kisah tiga yang tertutup batu besar dalam sebuah gua dan tidak dapat keluar dari dalamnya, sampai akhirnya setiap orang dari mereka bertawassul dengan amal sholehnya masing-masing.
Salah seorang dari mereka berdoa seraya menceritakan: “Ya Allah saya memiliki seorang sepupu wanita, dan saya sangat mencintainya, sebagaimana layaknya seorang laki-laki mencintai seorang wanita. Akupun merayunya agar ia mau menyerahkan dirinya kepadaku, ia menolaknya kecuali bila aku mampu memberikan kepadanya uang seratus dinar.
Maka akupun bekerja untuk mendapatkan uang sebesar itu, setelah aku mendapatkannya aku langsung memberikan uang tersebut kepadanya. Ketika aku telah barada diantara dua kakinya, ia berkata; Wahai hamba Allah takutlah kamu kepada Allah! Jangan engkau singkap penutup itu kecuali dengan jalan yang benarnya, akupun langsung beranjak darinya dan meninggalkan uang seratus dinar tersebut untuknya. Ya Allah, Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukannya karena-Mu, maka bukakanlah pintu gua tersebut untuk kami. Maka bergeserlah sedikit pintu gua tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bagaimana cara menanamkan dan mendididik sifat ‘iffah dalam diri seorang muslim sehingga mampu membentengi dirinya dan kuat terhadap godaan yang dihadapi? Di antara caranya adalah:
Pertama: Membekali diri dengan ketaqwaan kepada Allah
Ini merupakan asas paling fundamental dalam menanamkan ‘iffah pada diri seseorang. Ketaqwaan adalah perisai seseorang dari perbuatan-perbuatan tercela yang dilarang oleh ajaran agama Islam.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutif sebuah riwayat bahwa, Umar ra pernah bertanya kepada sahabatnya Ubai bin Ka’ab tentang taqwa, lalu Umar ra balik ditanya: “Apakah engkau pernah melalui jalan berduri?” Umar menjawab: “Ya, saya pernah melaluinya.” Kemudian Umar ditanya lagi, “Apa yang engkau lakukan?” Umar menjawab, “Saya akan berjalan dengan sangat hati-hati sekali sehingga tidak terkena duri itu.” Kemudian dikatakan padanya: “Itulah taqwa”.
Seorang yang membekali dirinya dengan taqwa, akan berhati-hati dalam setiap langkahnya, sehingga dia aman dan terhindar dari duri syahwat dan ranjau-ranjau maksiat.
Kedua: Membentengi diri dengan rasa malu
Malu adalah adalah sifat yang mulia dan terpuji. Bahkan malu itu bagian dari iman yang merupakan pedoman muslim dan penegak hidupnya. Dengan rasa malu, seseorang akan terhindar dari berbagai perbuatan yang keji, tidak pantas, mengandung dosa dan kemaksiatan. Sifat malu yang menghiasi diri seorang muslim akan membuatnya menjadi bertambah indah dan menawan.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: “Tidaklah sifat malu berada pada sesuatu kecuali ia akan menghiasinya, dan tidaklah sifat fahsy (keji dan buas) berada pada sesuatu kecuali akan memperburuknya.” (KitabAdabul Mufrad, bab Malu, dishahihkan oleh Al bani)
Ketiga: Menundukkan pandangan atau ghadhul bashar
Dalam hadits disebutkan bahwa pandangan merupakan panah-panah Iblis. Apabila seseorang tidak mewaspadainya, ia akan membawa dan menyeretnya ke dalam kubangan syahwat. Ia akan menyusup ke dalam hati lalu membuat gelap, kemudian akan melahirkan berbagai angan-angan dan khayalan, hingga hati menjadi keruh dan kotor, lalu bangkitlah keinginan untuk mewujudkannya, pada akhirnya jasad mengikuti keinginan hatinya untuk bermaksiat.
Oleh karenanya Allah SWT menghubungkan antara ghadhul bashar dengan menjaga kemaluan. Sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
BACA JUGA: Imajinasi Lelaki dan Wanita yang Tak Pandai Menjaga Diri
Keempat: Menjauhi tempat-tempat yang menimbulkan fitnah
Salah satu manifestasi dari kesucian dan kebersihan diri adalah dengan menghindari tempat-tempat yang akan mendatangkan fitnah dan kerusakan baginya.
Dalam surat Yusuf digambarkan sebuah sikap yang diambil oleh Nabi Yusuf as saat digoda, yaitu dengan berlari keluar menuju pintu yang telah dikunci rapat oleh Zulaikhah, sebagaimana firman Allah:
“Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu”. (QS. Yusuf: 24-25)
Rasulullah bersabda: “Tidaklah seorang laki-laki dan perempuan berduaan, kecuali setan yang ketiganya.” (HR. Bukhori)
Kelima: Memperbanyak membaca doa
Diantara doa yang diajarkan Rasulullah untuk memiliki sifat iffah adalah:
اللَّهُمَّإِنِّيأَسْأَلُكَاْلهُدَىوَالتُّقَى،وَاْلعَفَافَوَاْلغِنَى
“Ya Allah aku mohon kepadamu petunjuk, taqwa, Iffah dan kekayaan.”
Wallahu’alam. []
SUMBER: IKADI