APA itu perilaku Shadenfreude?
ADA tipologi manusia yang senang mempersulit urusan orang lain. Perilaku yang selaras dengan itu adalah susah melihat orang senang dan gembira melihat orang lain susah. Hatinya diselubungi rasa iri dan dengki, hingga menghalangi jalan kebaikan dan kemudahan bagi hak-hak orang lain.
Adakalanya orang seperti itu berbuat baik, namun kualitas kebaikannya tak lepas dari sifat riya dan ingin dipuji orang lain. Orang seperti ini dengan sendirinya tak suka melihat orang lain mendapatkan rizki, serta gemar menghalangi kesuksesan orang lain.
Sifat semacam itu seakan bermutasi kepada sifat buruk lainnya berupa kesenangan memfitnah, memprovokasi, mengumbar aib, serta menjatuhkan nama baik orang. Ia suka merusak reputasi, sehingga merasa punya kemampuan untuk menutup peluang kerja, prestise dan usaha orang lain.
Tipikal seperti itu juga tak bisa menjaga amanah bagi kepentingan umat, karena ia gemar menahan informasi penting, menyabotase kerja kelompok, bahkan tega mengambil hak orang lain. Di sisi lain, ia pun gemar menjegal rekomendasi atau tak memberi dukungan, baik moril maupun materil, bahkan bersikap tidak fair untuk turut berlomba dalam kebaikan, apalagi sampai membantu pihak lain.
Padahal, dengan sedikit bantuan yang diberikan, orang itu bisa mendapat rizki dan peluang yang lebih baik. “Biarkan saja, sebab saya juga dulu susah payah mencari kerja,” demikian alasan klise yang sering dikemukakan.
Jadi, pada prinsipnya bukan bermaksud memberi edukasi dan pendidikan, melainkan karena didasarkan rasa iri dan dengki yang merupakan penyakit hati yang bersemayam dalam dirinya. Ia seakan lupa pada hadits Nabi, bahwa sifat iri dan dengki itulah yang justru menyebabkan kebaikan orang menjadi luntur dan musnah, sebagaimana api yang menghanguskan kayu-kayu bakar.
Berlaku adil
Alih-alih berlaku adil terhadap pihak lain, justru ia gemar memonopoli kesempatan, tak mau berbagi peluang, atau malah menyingkirkan pesaing secara tidak adil, demi mempertahankan posisinya sendiri. Padahal, rizki itu sudah diatur oleh Tuhan, dan hanya Dia yang berwenang memberi kelapangan maupun kesempitan bagi setiap hamba-Nya.
Sifat dengki yang berkembang itu terus bermutasi hingga gemar memfitnah agar orang lain secara tidak proporsional, memutus tali silaturahmi, karena ia percaya bahwa silaturahmi itu dapat membuka pintu rizki. Untuk itu, ia sengaja memutus hubungan atau menghasut agar hubungan orang menjadi rusak, demi untuk kepentingan prestise dan keunggulannya sendiri.
BACA JUGA: Agama Islam Sangat Menjunjung Tinggi Keadilan, Berikut 10 Ayat Al-Quran tentang Keadilan
Di sisi lain, seringkali ia menghindari situasi di mana ia bisa dimintai tolong. Ia menjaga jarak agar tak dimintai bantuan, bahkan oleh sahabat maupun teman dekatnya sekalipun. Ia cenderung saklek dan berlebihan dalam menghitung-hitung, mengkalkulasi, bahkan dalam hal yang sekecil apapun.
Secara religius dan kejiwaan, orang semacam itu tak pernah merasa dirinya cukup. Bukan karena miskin, tapi karena hatinya tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki pihak lain. Ia segan berinfak, dan kalaupun bersedekah, ia senang mengungkit atau berhitung secara ketat, apa impact yang akan diberikan buat saya, jika saya bersedekah kepadanya.
Padahal, Tuhan menjanjikan pahala dan ganti yang lebih baik, tapi orang semacam itu justru takut rizkinya berkurang jika memberi. Ia lupa bahwa rizki bukan hanya dari usahanya, tapi juga dari keberkahannya ia memberi.
Di dalam Alquran (surah al-Maun), ditegaskan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang riya dan pamer dalam ibadahnya. Ciri-ciri orang semacam itu adalah bakhil dan enggan memberi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan orang lain.
Arti Schadenfreude
Di era milenial ini, ramai kita mendengar istilah “Schadenfreude”. Schaden artinya rusak atau hancur, sedangkan freude, artinya senang atau gembira. Jadi, mental schadenfreude, ketika melihat orang jatuh dan susah, dorongan harga dirinya naik dan rasa percaya-dirinya akan muncul.
Sedangkan, orang yang berjiwa besar, rasa empatinya akan mampu mengendalikan dirinya, sehingga dapat memahami bahwa persoalan menang dan kalah, sukses dan gagal, hanyalah soal waktu yang dipergilirkan.
Pada prinsipnya, schadenfreude adalah emosi yang negatif, sepadan dengan kemarahan, kejengkelan, keangkuhan dan kesombongan. Tetapi, karena dalam kehidupan manusia ada unsur senang-sedih atau menang-kalah, maka dengan sendirinya ia seolah-olah bersifat manusiawi.
Sebagaimana manusia yang pada umumnya gembira kalau tim sepakbola atau bulutangkis yang disukainya bisa menang. Sebaliknya, ia akan tertawa atau ngakak melihat sang lawan merasa sedih atau mengamuk membanting raket.
Apapun kegagalan yang dialami pihak lawan, tentu tak layak jika mensyukuri kegagalan dan kejatuhannya. Tetapi, gambaran schadenfreude, seakan memperingatkan kita, bahwa fitrah manusia senantiasa menyukai kebaikan dan membenci keburukan.
Dengan sendirinya, kita bisa merasakan senang ketika yang baik menang dan yang jahat kalah. Kita juga akan merasa gembira ketika mereka yang tertindas dibela, sementara para penindas mendapat hukuman yang setimpal.
BACA JUGA: 8 Cara agar Remaja Terhindar dari Brain Rot atau Pembusukan Otak
Tetapi, dalam ajaran Islam dikenal “akhlaqul adzimah”, yang berupaya menepis kecenderungan sifat seorang Schadenfreude. Bagaimanapun, kita harus berlaku adil, meskipun terhadap orang yang kita benci sekalipun. Dalam surah al-Maidah ayat 8 dinyatakan: “Dan janganlah kebencian kamu kepada suatu kaum, mendorong kamu hingga berlaku tidak adil kepada kaum tersebut. Berlaku adillah, karena adil itu identik dengan takwa….” []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter. Sertakan foto diri, Kartu Tanda Identitas (KTP/KTP/SIM), akun media sosial (IG, Facebook, atau Tiktok), dan imel.