IJTIHAD adalah ruh pemikiran Islam, yang membuat Islam tetap hidup membersamai umat Islam, yang membuat Islam tetap shalih li kulli zaman wa makan, tidak runtuh karena kejumudan dan tak mampu menghadapi tantangan zaman.
Karena itu, pendapat yang menyatakan di masa sekarang tak perlu ada ijtihad atau tak ada yang layak menjadi mujtahid, adalah pendapat yang tak perlu diperhatikan.
Imam Tajuddin As-Subki dalam “Jam’u Al-Jawami'” menyatakan, meskipun banyak yang memfatwakan bolehnya ada masa yang kosong dari mujtahid, namun pendapat yang terpilih, itu tak pernah terjadi. Menurut beliau, faktanya di setiap zaman selalu ada mujtahid.
BACA JUGA:Â Salah dalam Ijtihad Dapat Satu Pahala?
Jika yang dianggap tidak ada lagi adalah mujtahid mutlak mustaqil yang membangun ushul dan qawa’id madzhab sendiri, sebagaimana imam empat madzhab atau yang semisal mereka, itu bisa diterima.
Bukan karena karunia ilmu hanya diberikan Allah ta’ala pada masa tertentu saja, dan tidak pada masa yang lain. Bukan karena itu.
Tapi karena kebutuhan di masa sekarang bukanlah membangun ushul dan qawa’id sendiri, apa yang diberikan oleh ulama terdahulu sudah cukup, dan tugas para ulama sekarang hanya menelaah, meneliti, mentarjih dan melihat mana yang lebih tepat untuk digunakan di masa sekarang.
Kebutuhan ijtihad di masa sekarang, adalah untuk menjawab berbagai persoalan kontemporer dengan ijtihad yang komprehensif, tidak terbatas pada takhrij satu madzhab saja, tapi memperhatikan dalil-dalil syar’i secara langsung sebagaimana yang dilakukan ulama salaf.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam “Ushul Al-Fiqh Al-Islami” menyatakan, “Ijtihad di masa sekarang tidak hanya mengeluarkan pendapat baru untuk fakta atau realita yang baru terjadi. Ia juga mencakup penelitian terhadap dalil-dalil itu sendiri, tanpa terikat dengan salah satu madzhab.”
Saat membantah sebagian orang yang menyatakan tidak perlunya ijtihad di masa sekarang, dan mewajibkan umat untuk mengikuti kitab-kitab ulama terdahulu sepenuhnya, serta mengklaim kitab-kitab tersebut sudah mencukupi untuk kebutuhan saat ini, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, dalam “Al-Ijtihad Fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah”, menyatakan:
“Klaim bahwa kitab-kitab klasik mengandung jawaban atas semua persoalan baru, merupakan sikap berlebih-lebihan dan pengabaian terhadap realita.
Setiap masa memiliki masalah-masalahnya sendiri, realitanya sendiri, dan kebutuhan-kebutuhannya yang baru. Bumi terus berputar, langit terus bergerak, alam terus berjalan, dan jarum jam tak pernah berhenti.
Dengan perputaran dan pergerakan waktu yang terus-menerus dan berjalan cepat ini, rahim siang dan malam senantiasa mengeluarkan berbagai peristiwa dan realita yang baru, yang tidak dikenal oleh orang-orang terdahulu.
BACA JUGA:Â Pujian dan Celaan, Termasuk Perkara Ijtihadi
Bisa jadi belum terlintas di benak mereka, bahkan bisa jadi, seandainya hal itu disebutkan di hadapan mereka, mereka akan menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil. Maka bagaimana bisa tergambar hukum hal tersebut pada mereka, sedangkan ia belum ada saat mereka hidup di suatu zaman?”
Saat membantah pendapat para ulama (di antaranya Ar-Razi, Al-Ghazali, dan Al-Qaffal) yang membolehkan ketiadaan mujtahid di suatu masa, Az-Zuhaili dalam “Ushul Al-Fiqh Al-Islami” menyatakan,
“Dan yang tampak, orang-orang ini tidak memiliki hujjah atas pendapatnya, kecuali sikap ghuluw (berlebih-lebihan) mereka dalam membatasi level ijtihad, membatasi diri pada imam-imam terdahulu, dan mewajibkan taqlid kepada mereka.
Padahal sarana untuk berijtihad orang-orang setelah mereka lebih banyak dari mereka. Demikian juga, keutamaan ilmu dan pemahaman yang diberikan Allah tidak terbatas pada zaman tertentu saja.”
Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara