MUSLIMAH tentu sudah tidak asing bukan dengan arisan. Bahkan, mungkin muslimah pun ikut serta menjadi anggota arisan. Ada banyak bentuk arisan, mulai dari arisan uang, arisan perabot bahkan arisan motor atau mobil. Ternyata arisan berkembang tak hanya di Indonesia, diluar negeri pun ada yang namanya arisan.
Fenomena ini demikian semarak dilakukan kaum Mmslimin karena adanya kemudahan dan banyak membantu mereka. Lantas bagaimana sebenarnya hukum arisan dalam Islam? Menurut Ustadz Kholid Syamhudi Lc dalam almanhaj : “Hakekat arisan ini adalah setiap orang dari anggotanya meminjamkan uang kepada anggota yang menerimanya dan meminjam dari orang yang sudah menerimanya kecuali orang yang pertama mendapatkan arisan maka ia menjadi orang yang berhutang terus setelah mendapatkan arisan, juga orang yang terakhir mendapatkan arisan, maka ia selalu menjadi pemberi hutang kepada anggota.”
BACA JUGA: Arisan Qurban, Boleh Tidak sih?
Ada dua pendapat para Ulama dalam menghukumi arisan dalam bentuk yang dijelaskan dalam hakekat arisan diatas:
Pendapat pertama mengharamkannya. Inilah pendapat Syaikh Prof.Dr.Shalih bin Abdillah al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh (mufti Saudi Arabia sekarang) dan Syaikh Abdurrahman al-Barak. Argumentasi mereka adalah:
- Setiap peserta dalam arisan ini hanya menyerahkan uangnya dalam akad hutang bersyarat yaitu menghutangkan dengan syarat diberi hutang juga dari peserta lainnya. Ini adalah hutang yang membawa keuntungan (qardh jarra manfaatan). Padahal para Ulama sepakat semua hutang yang memberikan kemanfaatan maka itu adalah haram dan riba, seperti dinukilkan oleh Ibnu al-Mundzir dalam kitab al-Ijma’, halaman ke-120 dan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni 6/346.
- Hutang yang disyariatkan adalah menghutangkan dengan tujuan mengharap wajah Allah dan membantu meringankan orang yang berhutang. Oleh karena itu dilarang orang yang menghutangkan menjadikan hutang sebagai sarana mengambil keuntungan dari orang yang berhutang.
- Dalam arisan ada persyaratan akad (transaksi) di atas transaksi. Jadi seperti dua jual beli dalam satu transaksi (bai’atain fi bai’ah) yang dilarang oleh Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘alihi wa sallam yang berbunyi: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jual beli dalam satu jual beli,” (HR. Ahmad dan dihasankan Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 5/149).
Kelompok yang lain berpendapat bahwa arisan itu boleh. Inilah fatwa dari al-hafizh Abu Zur’ah al-‘raqi (wafat tahun 826), (lihat Hasyiyah al-Qalyubi 2/258) fatwa mayoritas anggota dewan majlis Ulama besar (Hai’ah Kibaar al-Ulama) Saudi Arabia, diantara mereka Syaikh Abdulaziz bin Baz (mufti Saudi Arabia terdahulu) dan Syaikh Muhammad bin shalih al-Utsaimin serta Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Jibrin. Argumentasi mereka adalah:
- Bentuk seperti ini termasuk yang diperbolehkan syariat, karena hutang yang membantu meringankan orang yang berhutang. Orang yang berhutang dapat memanfaatkan uang tersebut dalam waktu tertentu kemudian ia mengembalikannya sesuai dengan jumlah uang yang diambilnya tanpa ada penambahan dan pengurangan. Inilah hakekat hutang (al-qardh al-mu’tad) yang sudah diperbolehkan berdasarkan nash-nash syariat dan ijma’ para Ulama.
- Hukum asal dalam transaksi muamalah adalah halal. Semua transaksi yang tidak ada dalil syariat yang mengharamkannya diperbolehkan. Anggap saja arisan ini tidak termasuk jenis hutang, maka ia tetap pada hukum asalnya yaitu diperbolehkan selama tidak ada dalil shahih yang melarangnya.
- Arisan berisi unsur kerjasama, tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, karena ia adalah salah satu cara menutupi kebutuhan orang yang butuh dan menolong mereka untuk menjauhi mu’amalat terlarang.
- Manfaat yang didapatkan dari arisan ini tidak mengurangi sedikit pun harta orang yang minjam uang dan kadang orang minjam mendapatkan manfaat yang sama atau hampir sama dengan yang lainnya. Sehingga mashlahat (kebaikannya) didapatkan dan akan dirasakan oleh seluruh peserta arisan dan tidak ada seorang pun yang mengalami kerugian atau mendapatkan tambahan manfaat pada pemberi hutangan yang menjadi tanggungan peminjam. Syariat yang suci ini tidak akan mengharamkan kemashlahatan yang tidak berisi kemudharatan.
BACA JUGA: Ini Hikmah Pembagian Warisan dalam Islam
Menurut penulis buku Jum’iyyah al-Muwadzafin Prof. DR. Abdullah bin Abulaziz al-Jibrin merajihkan pendapat yang membolehkan dengan alasan:
- Kuatnya argumentasi pendapat ini
- Lemahnya pendapat yang mengharamkannya, karena disebabkan arisan tidak termasuk hutang bersyarat, sebagaimana telah diungkapkan oleh pemilik pendapat yang membolehkan. Dan hutang diperbolehkan walaupun tidak diniatkan mendapatkan pahala dan keridhaan Allah sebab hutang pada hakekatnya disyariatkan untuk membantu orang yang membutuhkannya. Serta hadits larangan dua jual beli dalam satu akad tidak pas diterapkan pada arisan ini.
- Pendapat yang membolehkan lebih pas dan sesuai dengan ushul dan kaedah syariat, karena seluruh syariat dibangun di atas dasar “mengambil maslahat dan menolak kemudharatan dan kerusakan”.
Dengan demikian jelaslah hukum arisan tanpa syarat ini hukumnya adalah boleh. Namun, arisan yang berkembang saat ini perlu diteliti kembali dengan sistem yang dibuatnya sesuai syariat atau tidak.[]
SUMBER: MUSLIMAH ZONE