Oleh: Daud Farma
SEKARANG itu nyari duit nggak susah-susah amat. Punya kamera, punya laptop, jadi selebgram dan youtuber. Setahun kemudian, asalkan ia aktif dan rutin ngepost, bisa jadi jutawan.
Penghasilannya ngalahin gajinya pak lurah, ngalahin gaji pegawai, ngalahin gaji camat, ngalahin gaji gubernur, bisa jadi ngalahin gaji presiden!
Kalau dilihat dari sekilas, usaha jadi terkenal itu nggak susah-susah amat. Sekarang semua orang bisa gampang jadi terkenal, banyak ditonton orang lain. Cukup punya kamera, bikin video, kemudian publikasi. Bukan terkenal, lebih tepatnya mengenalkan diri ke khalayak umum. Orang-orang pada tau, lalu sesekali penonton berkata: “wah hebat!” via kolom komentar atau bertatap muka saat bertemu: “aku banyak menonton videomu, juga photo-photomu di instagram. Aku sudah lama mengenalmu jauh sebelum kita bertemu!”
Asalkan yang bermanfaat loh ya?
Tapi ada juga yang tidak memberi manfaat, dan anehnya dia pula paling banyak penghasilannya. Heran!
Ah, popularitas tidak bertahan lama. Duit pun tidak betah mengurung diri dalam dompet, lama-lama habis juga. Jika suatu saat, nanti kedepannya, orang-orang sudah tidak minat lagi menonton, kan tiba-tiba jatuh kembali jadi antonim kaya. Terus, masa akan datang orang-orang sudah minat sekali dengan belajar, minat membaca, minat dunia pendidikan, gigih menekuni ilmu. Tidak ada lagi yang minat tontonan maupun semacamnya. Apps sosmed berikutnya, yang baru lauching pun terabaikan, orang-orang pada bawa buku kemana-mana. Ada handphone, tapi hanya dimanfaatkan untuk sebatas menelepon dan chatingan. Ah, tapi itu hanya khayalan saja.
Kalau pun seandainya hal itu bakal terjadi, berarti yang ngepost tak bermanfaat akan cepat hilang dengan sendirinya dari publik figur. Akan segera lagi merasakan antonim kaya harta, juga miskin ilmu. Dan akhirnya ia back to study, ingin menekuni ilmu, mengejar cita-cita, dunia-akhirat. Tidak dunia saja.
Nah, kan akhirnya. Jadi, ilmu itu sangatlah mahal, mahal sekali! Tak dapat debeli, ijazahnya bisa dibeli, tapi ilmunya mesti dipelajari, dicari, ditekuni, diamalakan.
Kalau lah ilmu adalah mahal, berarti guru jugalah mahal. Guru adalah salah satu cara mendapatkan ilmu. Nah itu dia, sudah semestinya gaji guru juga mahal. Sudah saatnya guru digaji dengan sepantasnya.
Mari kita lihat, guru, mencerdaskan anak bangsa, malam harinya ia menyiapkan materi yang ingin ia ajarkan esok hari, menuliskannya dalam sebuah buku catatan, membaca ulang, kadang guru berusaha menghafalkannya terlebih dahulu agar muridnya tampak senang ketika melihat gurunya luar biasa saat mengajar, hafal materi!
Kemudian sampai di kelas guru berdiri dua jam lamanya, menjelaskan, menulis di papan tulis. Belum lagi anak-anak yang nakal, kalau dipukul nanti malah guru yang salah. Terus? Cuma lima ratus ribu sebulan? Ikhlas? Ya guru adalah orang yang ikhlas memberikan ilmunya, dan mungkin juga ikhlas mengorbankan jerih payahnya. Tapi tidak begitu juga.
Sebut saja, Bu Siti, guru bahasa bahasa indonesia, di salah satu SD Negeri. Sudah enam tahun mengajar di sekolah yang sama. Gaji awalnya di tahun pertama 500 ribu rupiah, dan setiap satu tahun gaji Bu Siti hanya nambah 500 ribu, enam tahun? Hanya tiga juta rupiah. Kenapa aku pakai kata “Hanya”? Tiga juta? Itu masih sedikit pake banget jika dibandingkan dengan pendapatan kidz zaman now, gaji Bu Siti cuma dua kali iklan selebgram. (Btw, Bu Siti adalah contoh fiksi)
Kalau anak-anak muda akan datang malah makin banyak minat sosmed, minat terkenal, minat jadi kaya ketimbang belajar. Maka tetap naikan gaji guru. Kenapa? Karena kalau misalkan kidz masa mendatang minat mengejar harta, ia akan ingin jadi guru, sebab gaji guru sudah sangat mahal, mahal sekali! Orang-orang pada tergiur ingin jadi guru. Hingga-hingga banyak sana-sini yang antre memanjang ikut mendaftar jadi guru. Sekolah tempat Bu Siti penuh dengan antrean! Sesak!
Maka seleksi penerimaan guru pun sangat ketat dan bijak. Tidak sembarang menerima guru, apalagi bila ada yang hanya mengandalkan ijazah, tak punya isi kepala! Maka yang jadi guru adalah hanya orang-orang yang mampu melewati seleksinya. Tesnya susah!
Serius nggak minat jadi guru masa akan datang? Gajinya sangat mahal loh! Nggak tertarik? Ah masa? Coba pikir-pikir dulu deh, nanti nyesel loh!
Kalau memang serius jadi guru masa akan datang, makanya belajar dari sekarang! Ingat, seleksinya susah! []