ILMU nujum adalah ilmu yang dipakai untuk mengetahui kejadian-kejadian yang ada di bumi dengan bantuan benda-benda langit seperti bintang. Ilmu nujum sendiri termasuk dalam ilmu sihir yang dilarang dalam Islam. Salah satu contoh ilmu nujum yaitu bila muncul bintang ini dan itu maka akan terjadi begini dan begitu. Bila muncul bintang ini dan itu, maka akan lahir seseorang yang bahagia di dalam hidupnya atau lahir anak yang akan celaka.
Tentang hal ini Ibnu ‘Abbas ra berkata, Rasulullah SAW telah bersabda,
مَنِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ النُّجُوْمِ فَقَدِ اقْتَبَسَ مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
“Barang siapa mencari sebagian ilmu nujum maka dia telah mencari sebagian ilmu sihir, bertambah dengan bertambahnya.” (HR. Abi Dawud, 2/739 no. 3305 dan di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, 2/305 no. 3002 dan di dalam ash-Shahihah no. 793)
BACA JUGA: Doa Penangkal Santet atau Sihir
Ilmu nujum dengan makna ini adalah jelas-jelas bertentangan dengan akidah yang dibawa oleh seluruh nabi dan Rasul Allah SWT, juga bertentangan dengan Alquran dan as-Sunnah. Seorang sahabat, Zaid bin Khalid ra, berkata,
صَلىَّ بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلاَةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَّةِ فِيْ إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلىَ النَّاسِ فَقَالَ: هَلْ تَدْرُوْنَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِيْ وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْناَ بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ؛ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوَاكِبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا؛ فَذَلِكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوَاكِبِ
Kami shalat subuh bersama Rasulullah SAW setelah selesai hujan di suatu malam. Setelah selesai shalat, beliau menghadap manusia dan berkata, “Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Rabb kalian?”
Mereka berkata, “Allah SWT dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah SAW bersabda, “Allah berfirman, ‘Di pagi hari di antara hambaku ada yang beriman dan kafir kepada-Ku. Barang siapa yang mengatakan bahwa kami diberikan hujan dengan fadhilah (keutamaan) dan rahmat Allah SWT maka dia beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun orang yang mengatakan bahwa kita diberikan hujan karena waktu (nau’) ini dan itu, maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.’” (HR. al-Bukhari, 2/433—434 dan Muslim, no. 71)
Imam Syafi’i dalam al-Umm mengatakan, “Barang siapa mengatakan kita diberi hujan oleh waktu (nau’) ini dan itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian musyrikin dengan menyandarkan hujan kepada nau’ (waktu), maka hal yang demikian itu adalah kafir sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Akidah yang benar adalah bahwa terjadinya hujan karena izin Allah SWT dan takdir-Nya yang telah ditulis 50.000 tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi, dan (bahwa hujan) merupakan rahmat dari Allah SWT kepada suatu kaum. Turunnya hujan tidak dipengaruhi munculnya bintang ini dan itu.”
Hukum Mempelajari Ilmu Nujum
Ilmu nujum oleh para ulama dibagi menjadi dua:
Pertama, apa yang telah disebutkan di atas yaitu ilmu yang dipergunakan untuk menentukan kejadian-kejadian di bumi karena munculnya bintang ini dan itu. Mempelajari ilmu ini adalah haram. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas ra.
Kedua, mengetahui peredaran bintang untuk menentukan arah kiblat atau waktu. Hal ini diperbolehkan bahkan terkadang hukumnya wajib. Ulama fikih mengatakan bahwa apabila masuk waktu shalat maka wajib setiap orang untuk mengetahui arah kiblat, baik dengan bintang-bintang, matahari, maupun bulan. Allah SWT berfirman,
وَأَلۡقَىٰ فِي ٱلۡأَرۡضِ رَوَٰسِيَ أَن تَمِيدَ بِكُمۡ وَأَنۡهَٰرٗا وَسُبُلٗا لَّعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ ١٥ وَعَلَٰمَٰتٖۚ وَبِٱلنَّجۡمِ هُمۡ يَهۡتَدُونَ ١٦
“Dan dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu dan dia menciptakan sungai-sungai dan jalanjalan agar kamu mendapat petunjuk. Dia menciptakan tanda-tanda penunjuk jalan dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapatkan petunjuk….” (QS. an Nahl: 15—16) [al-Qaulul-Mufid, 2/45]. []
SUMBER: ASYSYARIAH