Oleh: Izzuddin Ar Rifqiy
Mahasiswa di Jakarta
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh,” (Al-A’raaf 7:199).
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk,” (An-Nahl 16:125).
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang Agung,” (Q.S. Al-Qalam, 68:4).
BERAPA tahun Allah menyiapkan Nabi Muhammad SAW sebelum menjadi nabi? Ya, 40 tahun. Yang paling menonjol dalam diri beliau selama 40 tahun tersebut adalah akhlaknya. Sebutan Al-Amin sebagai buktinya. Tapi selama kurun waktu tersebut, Rasulullah bahkan tidak bisa baca tulis. Tapi hal tersebut tidak mengurangi kemuliaan beliau.
Siapa yang tak kenal imam Malik, salah satu satu dari ulama 4 madzhab yang pertama membukukan hadits dalam kitabnya al-Muwatta’. Ibu Imam Malik adalah orang yang paling berperan dalam memotivasi dan membimbingnya untuk memperoleh ilmu.
Tidak hanya memilihkan guru-guru yang terbaik, sang ibu juga mengajarkan anaknya adab dalam belajar. Ibunya selalu memakaikannya pakaian yang terbaik dan merapikan imamah anaknya saat hendak pergi belajar. Ibunya mengatakan, “Pergilah kepada Rabi’ah, contohlah akhlaknya sebelum engkau mengambil ilmu darinya.”
Lihatlah betapa indahnya nasehat sang ibunda kepada anaknya. Bukannya menuntut untuk mencari nilai setinggi-tingginya. Namun malah menjadikan akhlak yang menjadi prioritas utama.
Akhlak saat ini menjadi komoditas yang mahal. Karena manusia yang berakhlak mulia pasti akan dihargai dimanapun ia berada. Bukankah kita ingat hadist Nabi, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya,” (HR Bukhari: 5569).
Orang yang baik akhlaknya adalah lentera yang menyala benderang. Dia hangat dan menentramkan, orang-orang suka berada di dekatnya. Karena dia pasti memberi pengaruh positif bagi lingkungan sekitarnya.
Sedangkan ilmu itu adalah itu adalah gagang dari lenteranya. Kalau keduanya saling bersinergi, lentera bisa kesana kemari. Lentera dengan dengan gagang punya daya jelajah yang lebih tinggi dengan kegunaan yang lebih banyak. Bisa menyalakan sumber sumber cahaya lainnya.
Lilin diseberang sana, sebelumnya tanpa cahaya. Berkat lentera yang punya mobilitas tinggi kemudian berbagi apinya akhirnya lilin bisa menyala dan memberi manfaat bagi sekitarnya. Kemudian lentera bisa melanjutkan perjalannya untuk berbagi.
Orang yang berilmu tapi tidak berakhlak baik berarti cuma lentera dengan gagang yang menyala kecil atau sama sekali tidak menyala. Hanya cukup untuk menerangi dirinya sendiri. Saking kecilnya nyala apinya bila dibuka tutupnya, matilah apinya. Tak dapat ia bagikan. Dan orang-orang tidak menerima karena ia tidak memberi manfaat. Hanya berguna bagi dirinya sendiri.
Sedangkan tanpa ilmu dan akhlak. Bagai orang berjalan tanpa lentera, hanya menabrak kesana kemari. Yang ada malah kemungkinan daya rusaknya lebih tinggi. Orang-orang berharap ia cukup diam saja ditempatnya.
Maka kita jangan tertipu oleh idiom-idiom yang beredar saat ini seperti “Bicara kasar tapi jujur lebih baik dari pada santun bicara tapi mental bejat.” Keduanya tidak benar. Siapa yang menjamin yang berbicara kasar benar-benar jujur? Lalu yang kedua adalah sifat munafik yang harus dijauhi kita semua. Ada pilihan yang lebih baik yaitu santun nan jujur.
Saya pernah membaca di sebuah buku tentang pernyataan seorang bule terhadap pentingnya akhlak. Aku lebih khawatir apabila anakku tidak bisa mengantri daripada ia sekadar tak bisa berhitung. Karena untuk mengajarinya mengantri butuh waktu yang lama dan akan lebih berguna baginya kelak di masa depan. Jika sudah demikian, apa yang bisa kita banggakan sebagai warga dari negara muslim terbesar dunia?
Pun pula untuk teman-teman di luar sana, ketahuilah bahwa para Ulama mempelajari akhlak lebih lama sebelum mempelajari ilmu.
Ibnul Mubarok berkata,
تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين
“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”
Ibnu Sirin berkata,
كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم
“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”
Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok,
نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث
“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Ini yang terjadi di zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari.
Karena perbedaan bukanlah berarti permusuhan. Seperti kata Imam Syafi’i pada sahabatnya Abu Musa “Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16). Wallahu a’lam. []