ILMU tajwid merupakan bagian dari ilmu ulumul Quran yang perlu dipelajari,mengingat ilmu ini berkaitan dengan bagaimana seseorang dapat membaca Al-Quran dengan baik. Sebagai ilmu tajwid dapat dipelajari sendiri, karena mempunyai syarat-syarat ilmiah,seperti adanya tujuan fungsi dan objek serta sistematik tersendiri.
Dalam ilmu Qiraah, tajwid berarti mengeluarkan huruf dari tempatnya dengan memberikan sifat-sifat yang dimilikinya. Jadi ilmu tajwid adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana cara membunyikan atau mengucapkan huruf-huruf yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran maupun bukan.
Ilmu tajwid adalah ilmu yang berguna untuk mengetahui bagaimana cara melafal kan huruf yang benar dan di benarkan, baik berkaitan dengan sifat, mad, dan sebagainya, misalnya Tarqiq, Tafhim dan selain keduanya.
Secara bahasa tajwid ialah mashdar dari jawwada-yujawwidu, yang artinya membaguskan. Sedangkan secara istilah, Imam Ibnul Jazari menjelaskan, “tajwid adalah membaca dengan membaguskan pelafalannya, yang terhindar dari keburukan pelafalan dan keburukan maknanya, serta membaca dengan maksimal tingkat kebenarannya dan kebagusannya.” (An Nasyr fil Qira’at Al ‘Asyr, 1/210)
Imam Ibnul Jazari juga menjelaskan hakekat dari ilmu tajwid, “maka tajwid itu merupakan penghias bacaan, yaitu dengan memberikan hak-hak, urutan dan tingkatan yang benar kepada setiap huruf, dan mengembalikan setiap huruf pada tempat keluarnya dan pada asalnya, dan menyesuaikan huruf-huruf tersebut pada setiap keadaannya, dan membenarkan lafadznya dan memperindah pelafalannya pada setiap konteks, menyempurnakan bentuknya. tanpa berlebihan, dan tanpa meremehkan.” (An Nasyr fil Qira’at Al ‘Asyr, 1/212)
Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya, “apakah seorang Muslim boleh membaca Al-Quran tanpa berpegangan pada kaidah-kaidah tajwid?”. Beliau menjawab, “Ya, itu dibolehkan.
Selama tidak terjadi lahn (kesalahan bacaan) di dalamnya. Jika terjadi lahn maka wajib untuk memperbaik lahn-nya tersebut. Adapun tajwid, hukumnya tidak wajib. Tajwid itu untuk memperbagus pelafalan saja, dan untuk memperbagus bacaan Al-Quran. Tidak diragukan bahwa tajwid itu baik, dan lebih sempurna dalam membaca Al-Quran.
BACA JUGA: Inilah 3 Amal Ibadah yang Tidak Akan Terputus Sekalipun Telah Meninggal Dunia
Namun kalau kita katakan ‘barangsiapa yang tidak membaca Al-Quran dengan tajwid maka berdosa‘ ini adalah perkataan yang tidak ada dalilnya. Bahkan dalil-dalil menunjukkan hal yang berseberangan dengan itu. Yaitu bahwasanya Alquran diturunkan dalam 7 huruf, hingga setiap manusia membacanya dengan gaya bahasa mereka sendiri.
Sampai suatu ketika, dikhawatirkan terjadi perselisihan dan persengketaan di antara kaum Muslimin, maka disatukanlah kaum Muslimin dalam satu qira’ah dengan gaya bahasa Qura’isy di zaman Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu’anhu.
Dan ini merupakan salah satu keutamaan beliau (Utsman), dan jasa beliau, serta bukti perhatian besar beliau dalam masa kekhalifahannya untuk mempersatukan umat dalam satu qira’ah. Agar tidak terjadi perselisihan di tengah umat.”
Hukum mempelajari ilmu tajwid adalah fardhu kifayah. Artinya, jika ada sebagian kaum muslimin yang mempelajari ilmu tajwid, maka gugurlah kewajiban sebagai kaum muslimin lainnya untuk mempelajari ilmu tajwid.
Artinya, meskipun hukum mempelajari ilmu tajwid fardhu kifayah, tetapi membaca Alquran dengan baik dan benar adalah keharusan (fardhu ‘ain). Terkait hal itu, Allah SWT berfirman, “Atau lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah Alquran itu dengan perlahan-lahan.”
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ supaya membaca Al-Quran secara seksama (tartil). Maksudnya ialah membaca Alquran dengan pelan-pelan, bacaan yang fasih, dan merasakan arti dan maksud dari ayat-ayat yang dibaca itu, sehingga berkesan di hati.
BACA JUGA: 5 Kedudukan Anak Menurut Alquran
Perintah ini dilaksanakan oleh Nabi Muhammad ﷺ, sebagaimana ‘Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw membaca Alquran dengan tartil. Sehingga surah yang dibacanya menjadi lebih lama dari membaca biasa.
Dalam hubungan ayat ini, Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mugaffal, bahwa ia berkata, “Aku melihat Rasulullah saw pada hari penaklukan kota Mekah, sedang menunggang unta beliau membaca Surah Al-Fath. Dalam bacaan itu Beliau melakukan tarji’ (bacaan lambat dengan mengulang-ulang).”
Membaca Al-Quran secara tartil mengandung hikmah, yaitu terbukanya kesempatan untuk memperhatikan isi ayat-ayat yang dibaca. Saat menyebut nama Allah, si pembaca akan merasakan kemahaagungan-Nya.
Sebaliknya, membaca Al-Quran secara tergesa-gesa atau dengan lagu yang baik, tetapi tidak memahami artinya adalah suatu indikasi bahwa si pembaca tidak memperhatikan isi yang terkandung dalam ayat yang dibacanya. []