Bagi segelintir orang tertentu yang beriman, kematian hanyalah momen yang harus dilewati sebagai alat menuju perjalanan berikutnya.
Tiada gentar ataupun rasa takut yang membuncah, rasa tenang bahkan meliputi mereka, termasuk ilmuwan Muslim satu ini, Abu Raihan Al-Biruni.
Syekh Aidh Al-Qarni dalam buku La Tahzan menjabarkan mengenai detik-detik kematian Abu Hasan Al-Biruni. Al-Biruni yang dikenal sebagai seorang matematikawan, filsuf, astronom, hingga ahli kedokteran ini memang cukup produktif menghabiskan usianya dalam dunia keilmuan dan penulisan.
Selama hidupnya, Al-Biruni hampir-hampir tak pernah sekali pun melepaskan pena dari tangannya. Matanya tak pernah berhenti mencermati, otaknya tak berhenti untuk berpikir, kecuali di waktu-waktu krusial seperti beribadah dan mencari penghidupan seperti makan dan minum.
BACA JUGA: Ilmu Sebaik-baik Warisan daripada Harta
Jelang kematiannya, Al-Faqih Abu Hasan Ali bin Isa datang menjenguk Al-Biruni yang tengah dilanda sakratul maut. Al-Biruni saat itu terlihat dengan nafas yang sudah tersengal-sengal diiringi dengan sesak dada. Dalam keadaan seperti itu, ia masih sempat menanyakan kepada Al-Faqih Abu Hasan mengenai matematika dan hukum waris.
Al-Biruni berkata, “Bagaimana menurutmu tentang perhitungan nenek yang tidak berhak mendapatkan warisan?”
Karena kasihan kepadanya, Al-Faqih Abu Hasan justru balik bertanya, “Apakah dalam keadaan seperti itu engkau masih harus bertanya kepadaku mengenai ini?”
Al-Biruni pun menjawab dengan nafas yang tersengal-sengal, “Bagaimana, aku akan meninggalkan dunia, sedangkan aku harus mengerti masalah itu. Bukankah itu jauh lebih baik daripada aku harus meninggalkan dunia dan tidak pernah mengerti mengenai hal ini?”
Mendengar hal itu, tentunya Al-Faqih Abu Hasan tergugah. Dia pun menjelaskan dan meladeni diskusi yang diminta Al-Biruni tentang hal yang ditanyakan. Al-Biruni pun memahami penjelasan yang diberikan Al-Faqih Abu Hasan. Lalu, Al-Biruni juga mengajarkan apa yang pernah ia janjikan kepadanya.
Usai berdiskusi dengan keterbatasan yang dialami Al-Biruni, Al-Faqih Abu Hasan pun memohon izin untuk pulang. Dia pun keluar dari rumah Al-Biruni. Tak jelang lama ia keluar dari rumah Al-Biruni, terdengar suara tangis dari arah rumahnya. Rupanya keluarga Al-Biruni baru saja menyaksikan ilmuwan itu benar-benar telah berpulang ke pangkuan Allah SWT.
BACA JUGA: Ilmu Padi, Seperti Apa?
Syekh Aidh Al-Qarni menjelaskan, apa yang dilakukan Al-Biruni di detik-detik kematiannya adalah digerakkan semangat hidup dan rasa iman yang dalam kepada Allah. Sehingga rasa takut atas kematian terpinggirkan dengan sendirinya. Semangat tentang hidup mengikis semua rasa takut, kedalaman iman membuatnya tenang untuk melangkah menuju ke perjalanan berikutnya.
Lagipula, setiap insan pun harusnya telah menyadari dalam hati bahwa kematian akan datang bagi setiap jiwa.
Allah berfirman dalam Alquran Surat Al-Ankabut ayat 57,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۖ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Kullu nafsin dzaaiqatul-maut, ilaina turja’un.”
Yang artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan kematian. Kemudian hanyalah kepada Kami kalian dikembalikan.”
Bagi Al-Biruni, kehidupan dan kematian sama berharganya. Dijelaskan bahwa beliau menghargai kedua nikmat yang diberikan Allah itu dengan cara yang baik. Semasa hidup, Al-Biruni tak menyia-nyiakan waktu dengan hal yang nista.
Ia menghabiskan hidupnya dengan mencari dan menelaah ilmu pengetahuan, menghabiskan hidupnya dengan menjalankan ibadah-ibadah sebagai bekal perjalanan selanjutnya.
Hingga sampai menjelang kematian pun, tiada rasa gentar bagi hatinya. Yang ada hanyalah sibuk memikirkan ilmu yang mulia.
SUMBER: REPUBLIKA.CO.ID