JIKA berkenan, sebelum membaca tulisan ini, tolong doakan saya agar mampu meniti jalan para ulama -salafush shalih- dan istiqamah di jalan tersebut.
Kali ini saya akan menuliskan syarat agar ilmu kita -ilmu syar’i- menjadi ilmu yang bermanfaat. Pelajaran ini saya ambil dari buku “Tips Belajar Para Ulama”, karya Dr. Anas Ahmad Karzun dan Dr. ‘Aidh al-Qorni. Semoga apa yang saya tuliskan kali ini memberikan manfaat bagi saya dan pembaca semuanya.
Silakan disimak.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang disertai amal. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يأيها الذين ءامنوا لم تقولون مالا تفعلون ، كبر مقتا عند الله أن تقولوا ما لا تفعلون
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (QS. Ash-Shaff [61]: 2-3)
BACA JUGA: Etika Mencari Ilmu
أتأمرون الناس بالبر وتنسون أنفسكم وأنتم تتلون الكتب ، أفلا تعقلون
Artinya: “Mengapa kalian menyuruh orang lain (melakukan) kebaikan, sedang kalian melupakan diri (kewajiban) kalian sendiri, padahal kalian membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?” (QS. Al-Baqarah [2]: 44)
Ayat-ayat diatas merupakan celaan kepada orang-orang berilmu yang tidak beramal dengan ilmunya. Dari sini kita bisa pahami bahwa ilmu itu baru bermanfaat bagi kita setelah kita mengamalkannya. Semoga kita termasuk orang-orang yang mengamalkan ilmu yang kita miliki, semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa orang yang berilmu akan ditanya tentang ilmunya pada hari kiamat, apa yang telah ia perbuat dengan ilmu tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاتزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن عمره فيما أفناه ، وعن علمه فيما فعل ، وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه ، وعن جسمه فيما أبلاه
Artinya: “Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan serta tentang badannya untuk apa ia gunakan.” (Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Abu Barzah al-Aslam dalam Sunan at-Tirmidzi no. 2418, kitab Shifat al-Qiyamah. Beliau berkata, ‘Hadits hasan shahih’)
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Usamah ibn Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يؤتى بالرجل يوم القيامة فيلقى في النار فتندلق أقتاب بطنه فيدور بها كما يدور الحمار بالرحى فيجتمع إليه أهل النار فيقولون : يا فلان ما لك ، ألم تكن تأمر بالمعروف وتنهى عن المنكر ؟ فيقول : بلى قد كنت آمر بالمعروف ولا آتيه وأنهى عن المنكر وآتيه
Artinya: “Seseorang akan didatangkan pada hari kiamat, lalu dicampakkan ke dalam neraka. Maka berurailah isi perutnya dan ia berputar-putar di neraka seperti keledai yang berputar mengelilingi penggilingan. Para penghuni neraka berkumpul di sekelilingnya seraya berkata, ‘Wahai Fulan, apa yang terjadi padamu? Bukankah engkau yang dulu memerintahkan pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar?’ Maka ia menjawab, ‘Benar, dahulu aku memerintahkan yang ma’ruf tapi aku sendiri tidak mengerjakan dan aku melarang dari yang munkar tapi justru aku kerjakan (kemunkaran tersebut)’.” (HR. Muslim no. 2989, kitab az-Zuhd, bab ‘Uqubatu Man Ya’mur bi al-Ma’ruf wa Laa Yaf’aluh)
Hadits diatas merupakan gambaran yang begitu mengerikan bagi orang yang berilmu, beramar ma’ruf dan nahi munkar, namun dia membiarkan dirinya sendiri bergelimang kemaksiatan. Orang-orang seperti ini akan mendapatkan siksaan di dalam neraka sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits diatas. Na’udzubillah min dzalik.
Abu Darda radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Sesungguhnya aku takut jika ditanyakan kepadaku pada hari kiamat, ‘Apakah engkau orang yang berilmu atau orang yang bodoh?’ Maka aku pun akan menjawab, ‘Aku berilmu’. Tidak tersisa satu ayat pun dari Kitabullah yang berisikan perintah atau larangan, melainkan akan datang kepadaku dan bertanya tentang kewajibannya. Ayat perintah akan bertanya, ‘Apakah kamu sudah melaksanakan?’. Sedangkan ayat larangan akan bertanya, ‘Apakah kamu sudah meninggalkan?’ Maka aku berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih, karya Ibnu ‘Abdil Barr [II/3])
Abu Darda radhiyallahu ‘anhu juga pernah berkata, “Seseorang tidak akan disebut orang yang berilmu sampai ia beramal dengan ilmunya.” (Akhlaq al-‘Ulama, karya al-Ajuri hal. 57)
Ikhwati fillah, ketahuilah bahwa buah dari ilmu adalah amal. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa dilihat pengaruhnya oleh manusia pada diri pemilik ilmu tersebut berupa cahaya di wajahnya, rasa takut dalam hatinya, keistiqamahan dalam tingkah lakunya, serta jujur kepada Allah, manusia dan diri sendiri.
Khathib al-Baghdadi meriwayatkan dengan sanadnya dari Hasan al-Bashri, ia berkata, “Ada seseorang yang sedang menuntut ilmu. Hal itu akan tetap bisa diketahui dari kekhusyukan, petunjuk, lisan, penglihatan dan tangannya.” (al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ [I/142])
BACA JUGA: Para Ilmuwan Tengah Bikin Obat Anti-Kesepian
Mari kita simak perkataan Imam asy-Syafi’i tentang ilmu dan kemaksiatan berikut ini:
Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku
Maka ia menyarankan kepadaku agar meninggalkan maksiat
Ia mengatakan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya
Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat
(Diiwaan asy-Syafi’i hal. 54)
Bagi kita yang sedang meniti jalan para ulama, mari meneliti keadaan diri, mengevaluasi diri dan mencegahnya bila hendak bermaksiat. Semoga kita tidak terperdaya oleh tipu daya hawa nafsu dan godaan-godaan setan.
Demikian tulisan saya kali ini, semoga kita istiqamah di jalan para penuntut ilmu, beramal dengan ilmu yang kita miliki dan menjauhi perbuatan maksiat. Semoga kita menjadi orang-orang yang beruntung.
Facebook: Muhammad Abduh Negara
Web: Abufurqan.net