IMAM Abu Hanifah rahimahullah, siapa yang tidak kenal beliau. Salah seorang dari imam empat madzhab yang sangat ternama.
Beliau dikenal banyak menggunakan qiyas dalam mengambil kesimpulan hukum. Hal ini karena pada zaman beliau banyak tersebar hadits palsu. Maka, beliau sangat hati-hati menerima hadits. Akhirnya beliau sering meng-qiyas-kan berbagai masalah dengan hadits yang telah beliau pastikan keshahihannya.
Beliau rahimahullah juga memiliki kemampuan mendalam dalam ilmu fiqih. Bahkan, pengetahuan ilmu fiqih beliau telah mencapai tingkatan yang tidak bisa dicapai oleh para fuqaha zaman itu. Hingga Abdullah bin Al Mubarak pernah menyatakan, “Aku belum pernah melihat orang yang lebih hebat dari Abu Hanifah dalam permasalahan fiqih.”
Nama lengkap beliau adalah An-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi. Dilahirkan pada tahun 80 H. Abu Hanifah banyak meriwayatkan dan belajar dari para ulama generasi tabi’in. Seperti Nafi’ maula Ibnu Umar, Atha bin Abi Rabah, Asy-Sya’bi, dan yang lainnya.
BACA JUGA: Abu Hanifah Kecil Mengalahkan Ulama
Banyak kisah yang mencerminkan kecerdasan Abu Hanifah, kekuatan hujah, dan ketepatan argumennya tatkala berdialog dengan lawan bicaranya. Bahkan, dalam menghadapi berbagai permasalahan yang rumit sekali pun, beliau adalah ujung tombak untuk menyelesaikannya. Potensi besar yang beliau miliki tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk membela kebenaran, mendakwahkan agama Allah, dan mematahkan argumen para pengusung kebatilan.
Pembaca yang budiman, berikut ini kami nukilkan beberapa kisah yang mencerminkan kepandaian dan kepiawaian beliau dalam beradu argumen. Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, menukilkan sebuah riwayat tentang kedatangan sekelompok orang India yang mendatangi Abu Hanifah. Mereka adalah orang-orang aliran Sumaniyah. Mereka memiliki berbagai keyakinan yang sesat lagi batil. Di antaranya, pengingkaran mereka terhadap keberadaan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai pencipta seluruh alam semesta. Sebuah pemikiran komunis yang sangat kufur dan berbahaya.
Oleh karena itulah, beliau menerima kedatangan orang-orang itu dan menyempatkan diri untuk berdialog dengan mereka. Beliau pun hendak membantah pemikiran sesat tersebut secara logika. Karena, metode tersebut lebih bisa mereka terima dari pada dalil ayat Al-Qur’an atau Al Hadits.
Beliau pun mengatakan, “Bagaimana pendapat kalian tentang sebuah perahu yang membawa berbagai muatan dan beban. Perahu tersebut berjalan mengarungi samudra nan luas. Di awal perjalanan, angin bertiup sepoi-sepoi dan ombak pun bersahabat. Tatkala sampai di tengah lautan, tiba-tiba datanglah badai dan ombak yang sangat besar. Namun perahu itu terus melanjutkan perjalanan tanpa halangan suatu apa, hingga sampai di tempat tujuan. Padahal tidak ada nakhoda dan anak buahnya yang mengendalikan jalannya perahu tersebut. Apa pendapat kalian tentang hal ini?”
Mereka pun menjawab, “Ini mustahil terjadi dan tidak masuk akal. Bahkan tidak diterima oleh imajinasi sekali pun!” Beliau pun menyatakan, “Maha Suci Allah, kalian mengingkari adanya sebuah perahu yang berlayar dengan selamat sampai tujuan tanpa nakhoda. Namun kalian meyakini bahwa lautan yang membentang, langit, matahari, bulan, bintang, gunung, dan seluruh alam semesta itu ada tanpa Pencipta dan Pengatur! Sungguh celaka kalian!” Orang-orang itu pun terbungkam tanpa bisa menjawab sepatah kata pun.
Pembaca yang budiman, kisah lain yang menunjukkan kecerdasan Abu Hanifah adalah dialog beliau dengan seorang laki-laki dari Irak. Laki-laki ini adalah salah satu tokoh dan pembesar di komunitasnya. Dia memiliki keyakinan yang sangat batil. Keyakinan bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu sebenarnya adalah orang Yahudi. Bahkan, dengan lancangnya dia berani menyatakan hal ini di hadapan khalayak ramai.
BACA JUGA: Semangat Abu Hanifah Mendalami Agama
Mari kita simak bagaimana metode yang beliau tempuh dalam membantah kefasikan ini. Setelah mendengar berita tersebut, Abu Hanifah pun segera mendatanginya. Beliau sadar bahwa seandainya pemikiran sesat ini dibiarkan menyebar luas di kalangan kaum muslimin, tentu akan menimbulkan fitnah yang sangat berbahaya. Tidak hanya kehormatan shahabat mulia Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu sebagai Khalifah ketiga yang akan ternodai, namun juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bagaimana tidak, celaan terhadap para shahabat secara umum, secara tidak langsung juga merupakan celaan terhadap kehormatan beliau. Bagaimana mungkin beliau memilih teman-teman yang akhlaknya tidak baik, apalagi seorang Yahudi. Terlebih lagi jika yang dicela tersebut adalah amirul mukminin, sekaligus menantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. []
Imam Abu Hanifah Rahimahullah, Alim dari Negeri Kufah (2-Habis)
BERSAMBUNG | SUMBER: ISMAIL IBNU ISA