AN-NUMAN bin Tsabit At-Taimi Al-Kufi, Abu Hanifah, imam kalangan bermadzhab Hanafiyah. Seorang faqih (ahli fikih), mujtahid (ahli ijtihad), dan muhaqqiq (ulama peneliti dan pengkaji), la merupakan satu dari empat imam Ahlussunnah.
Dikatakan, bahwa aslinya dari Persia, lahir dan besar di Kufah, berprofesi sebagai penjual kain sutera, la sudah menuntut ilmu sejak masih kecil lalu setelah itu fokus mengajar dan memberi fatwa. Ketika berbagai macam fitnah menerpa Irak pada tahun 130 H, ia melarikan diri ke Mekkah dan menetap di sana untuk beberapa tahun sampai keturunan Abbas berkuasa. Selama berada di Mekah, ia mengajar fikih dan hadits.
la memiliki hujjah yang kuat dan terbilang paling fasih berbicara. Imam Malik memberikan testimoni tentangnya, “Aku melihat seseorang yang andai aku berkata kepadanya agar mengubah tiang menjadi emas, tentu ia dapat menyampaikan hujjahnya.”
Berakhlak mulia, murah hati, baik tutur kata dan paras rupanya, bersuara lantang, saat berbicara, ia berbicara dengan lancar dan suaranya menggema. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Di bidang fikih, orang-orang bergantung pada Abu Hanifah. Dikenal wara, zuhud, ahli ibadah. Abu Hanifah disebut “pasak” karena banyak shalatnya. Saat aku berjalan bersama Abu Hanifah, tanpa diduga aku mendengar seseorang berkata pada temannya, “Dia ini Abu Hanifah. la tidak pernah tidur malam.” Abu Hanifah lantas berkata, “Demi Allah, jangan ada yang membicarakan tentang aku apa yang tidak aku lakukan.”
BACA JUGA: Imam Abu Hanifah Rahimahullah, Alim dari Negeri Kufah (1)
Abu Hanifah menghidupkan malam dengan shalat, memohon, dan berdoa. Membaca Al-Quran secara keseluruhan dalam satu rakaat. Abu Hanifah bernadzar ketika bersumpah dengan nama Allah dengan benar, ia akan bersedekah satu dinar.
Setiap kali memberikan suatu nafkah kepada keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, Abu Hanifah selalu mensedekahkan jumlah sepertinya. Suatu malam, Abu Hanifah mengerjakan shalat dan membaca firman Allah:
بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ (1)
“Bahkan hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan hari kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (Al-Qamar [54]:46)
Umar bin Hubairah pernah menginginkan Abu Hanifah menjabat hakim, namun Abu Hanifah enggan menerimanya karena alasan menjaga diri. Al-Manshur Al-Abbasi setelah itu menginginkannya menjabat hakim di Baghdad. Abu Hanifah enggan menerima keinginannya hingga Khalifah bersumpah Abu Hanifah akan melakukannya, lalu Abu Hanifah bersumpah untuk tidak melakukannya.
Al-Manshur akhirnya menahannya hingga meninggal dunia. Ibnu Khalakan berkata, “Inilah yang shahih.”
Pujian Ulama terhadapnya
Ibnu Mubarak berkata, “Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebih tenang di majelisnya, lebih baik sifat dan kesantunannya melebihi Abu Hanifah.” Abu Mu’awiyah Adh-Dharir (buta) berkata, “Mencintai Abu Hanifah adalah bagian dari sunnah.”
Yahya bin Sa’id Al-Qaththan berkata, “Kami tidak berdusta terhadap Allah. Tidak pernah kami mendengar pendapat yang lebih baik daripada pendapat Abu Hanifah. Kami berpegangan pada sebagian besar perkataan-perkataannya.”
Ali bin Ashim berkata, “Andai ilmu Abu Hanifah ditimbang dengan ilmu orang-orang pada masanya, tentu ilmu Abu Hanifah lebih berat daripada ilmu mereka.”
Si Pemuda Belia Belajar Fikih
Saat masih remaja belia, si pemuda aktif, Abu Hanifah, mempelajari ilmu kalam dan filsafat. Setelah lama belajar, si pemuda, Abu Hanifah, duduk di salah satu tiang masjid. Tidak lama setelah itu, seorang wanita datang dengan mempercepat langkah hingga berdiri tepat di hadapan Abu Hanifah dan bertanya, la berkata, “Hai pemuda! Aku punya pertanyaan, seorang lelaki punya seorang istri gagap. la hendak menceraikan istrinya itu. Berapa talak yang harus ia jatuhkan kepadanya?”
Si pemuda belia, Abu Hanifah, mencari jawaban pertanyaan tersebut dalam memorinya hingga ia tidak dapat menemukannya, setelah itu ia berkata, “Pergilah ke Hammad bin Abu Sulaiman Al Faqih dan tanyakan kepadanya. Setelah itu beritahukan jawabannya kepadaku.”
Si wanita itu akhirnya pergi ke majelis Hammad Al-Faqih dan bertanya kepadanya. Hammad menjawab, “(Si suami) menjatuhkan talak satu padanya saat ia suci dari haid dan tidak digauli, setelah itu ia membiarkannya hingga ia haid dua kali. Setelah ia mandi (dan haid), ia sudah halal untuk menikah (dengan lelaki lain).”
Si wanita ini membawa jawaban Hammad dan dengan cepat menemui Abu Hanifah untuk memberitahukan jawaban yang disampaikan Hammad Al-Faqih. Setelah mendengar jawaban, Abu Hanifah menyesali hari-hari yang telah ia sia-siakan dalam mempelajari filsafat dan ilmu kalam. la akhirnya menenteng kedua sandalnya lalu pergi dengan segera ke syaikh Hammad bin Abu Sulaiman Al-Faqih untuk berguru di hadapannya.” (Siyar A’lamin Nubala, VI: 398, Tarikh Baghdad, XIII: 331)
Kepiawaian Abu Hanifah
Dengan telinga yang menyimak dan memori yang meng-hafal, si pemuda belia, Abu Hanifah, duduk di majelis gurunya, Hammad, untuk meminum dari samudera ilmunya dengan penuh kerinduan dan cinta. la menuturkan tentang masa-masa mudanya sebagai berikut, “Suatu ketika, aku mendengar permasalahan-permasalahan yang disampaikan guruku, Hammad, lalu aku menghafal perkataannya. Pada keesokan harinya ia mengulanginya lagi.
Aku menghafalnya sementara sahabat-sahabatnya keliru.” Akhirnya guruku, Hammad, berkata, “Jangan ada yang duduk di depan halaqah tepat di hadapanku, kecuali Abu Hanifah.” (Siyar A’lamin Nubala, VI: 398)
BACA JUGA: Imam Abu Hanifah dan Rumah Seorang Majusi
Dengan sopan, Abu Hanifah duduk menceritakan adabnya terhadap gurunya, la berkata, “Aku menyertai guruku, Hammad, selama 10 tahun. Lalu, setelah itu jiwaku menarikku agar aku memisahkan diri darinya dan duduk dalam sebuah halaqah sendiri. Suatu hari, aku keluar rumah tepat pada sore hari. Saat melihatnya, jiwaku tidak rela meninggalkannya.
“Pada malam harinya, berita kematian salah seorang kerabatnya di Baghdad disampaikan. la meninggalkan sejumlah harta dan tidak memiliki pewaris lain selain guruku itu. Guruku kemudian menyuruhku untuk duduk di tempatnya.
“Setelah ia pergi, aku dihadapkan pada sejumlah pertanyaan yang belum pernah aku dengar darinya. Aku menjawabnya dan aku menulis jawabanku. la pergi selama dua bulan, lalu setelah itu datang. Aku memberitahukan pertanyaan-pertanyaan itu kepadanya. Jumlahnya sekitar 60 pertanyaan, la setuju denganku dalam 40 jawaban di antaranya, dan tidak setuju denganku dalam 20 jawaban sisanya. Akhirnya aku berjanji kepada diriku untuk tidak meninggalkannya sampai ia meninggal dunia. Setelah ia meninggal dunia, aku selalu berdoa untuknya setiap kali shalat.” (Siyar A’lamin Nubala, VI; 398, Tarikh Baghdad, XIII: 334) []
SUMBER: HUMAYRO