DALAM Islam, semua ilmu dan pengetahuan berpedoman kepada dua Sumber: Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Al-Quran adalah sumber utama hukum Islam yang Allah turunkan sebagai wahyu kepada nabi Muhammad SAW, sementara Hadits menjadi contoh yang ditetapkan Nabi kepada umatnya sebagai sumber hukum kedua.
Namun, mengingat bahwa Nabi Muhammad hidup pada 1400 tahun yang lalu, bagaimana kita bisa yakin bahwa ucapan-ucapan dan perbuatannya yang sampai hingga saat ini nyata dan tidak berubah?
Untuk yang tidak terbiasa dengan ilmu hadits, beberapa hadits mungkin seperti tidak ada perbedaannya dan rentan dipalsukan. Namun, berkat karya Imam Muhammad al-Bukhari di abad ke-9, ilmu hadits telah dilindungi dari masalah tersebut.
Dengan menggunakan metode yang sistematis dan menyeluruh untuk setiap pepatah yang dikaitkan kepada Nabi SAW, karya Imam Bukhari ini mampu menjembatani keotentikan ucapan Nabi Muhammad yang kemudian dikenal dengan istilah hadits.
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, lahir sekitar tahun 809 M di kota Bukhara, Uzbekistan. Dia berasal dari keluarga Persia, ayahnya meninggal saat ia masih bayi dan diasuh oleh ibunya. Meskipun miskin, al-Bukhari muda tetap mendedikasikan dirinya untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam.
Al-Bukhari belajar bersama para ulama di kota kelahirannya, ia fokus belajar di bidang studi hadits serta fiqih.
Di usia mudanya, ia menunjukkan kemampuan unik dalam memahami masalah hukum yang kompleks. Bakatnya yang paling menentukan adalah mampu mengingat rantai hadits yang panjang, dan teks (matn) hadits yang kompleks.
Di akhir masa remajanya, setelah menyelesaikan studi di Bukhara, ia berangkat ke Mekkah untuk berhaji bersama ibu dan adiknya.
Al-Bukhari kemudian tinggal di Makkah dan Madinah selama beberapa tahun, di mana ia terus mengumpulkan hadits dari beberapa ulama hadits terkemuka di dunia. Bukhari menghafal teks hadits (matn), rantai perawi (isnad), dan mengajar di sana.
Ia lalu melakukan perjalanannya ke Mesir, Suriah, dan Irak guna melanjutkan studi ketika menjelang dewasa. Akhirnya ia menetap di Bashrah, tempat ia mengoleksi hadits-hadits yang terkumpul dalam karyanya yang monumental “Shahih al-Bukhari.”
Apa yang membuat kitab Shahih al-Bukhari itu unik, adalah mengenai kecermatan al-Bukhari terhadap kumpulan bermacam-macam hadits. Dia memiliki aturan tersendiri yang jauh lebih ketat mengenai keotentikan hadits daripada ulama-ulama yang lain.
Untuk mempertimbangkan keotentikan hadits, ia harus mempelajari sejarah kehidupan semua perawi secara mendalam.
Ia mempelajari di mana dan kapan perawi tersebut hidup. Untuk memastikannya, jika seseorang meriwayatkan hadits dari orang lain, keduanya harus berada di tempat yang sama, pada waktu yang sama dan telah benar-benar bertemu serta membahas hadits. Serta untuk memastikan mereka dapat dipercaya atau tidaknya, atau merubah kata-kata dari sebuah hadits.
Imam al-Bukhari adalah ulama pertama yang membuat pendekatan secara sistematis dalam mengelompokkan hadits. Setiap hadis yang dianalisis, dicap sebagai shahih (otentik), hasan (baik), mutawatir (berulang di banyak rantai), ahad (soliter), da’if (lemah), atau maudlu ‘(palsu). Selanjutnya, sistem ini juga digunakan sebagai standar untuk hadits-hadits dari kitab koleksi hadits lainya. []
Sumber: Lostislamichistory.