Oleh: Dede Yulianti
KARYANYA fenomenal, Shahih Bukhari. Keliling dunia menelusuri hadits-hadits Rasulullah Saw. Siapa sangka ia buta di masa kecilnya. Muhammad, ia diberi nama. Lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari. Lebih dikenal dengan nama Bukhari sesuai dengan tanah kelahirannya, Bukhara Uzbekistan. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M).
Imam Bukhari terlahir dari orangtua yang saleh. Bercita-cita menjadikan putra mereka seorang ulama. Ayahnya dikenal sebagai seorang yang bertaqwa dan bersikap wara’. Ahmad bin Hafsh suatu kali bercerita bahwa ia pernah berkunjung ke kediaman ayah Imam Bukhari di saat beliau mengalami sakit yang merenggut nyawanya, lalu beliau (Isma’il) berkata:
“Aku tidak mengetahui sedirham pun dari hartaku yang haram, dan tidak pula (harta) yang mengandung syubhat.”
Ibnu Hafsh berkata setelah mendengar perkataan ayah Imam Bukhari: “Seketika diriku merasa kerdil pada saat itu”
Imam Bukhari menyebutkan tarjamah (biografi) ayahnya tersebut, di dalam kitab beliau At-Taarikh Al-Kabiir. Begitu pula Al-Hafizh Ibnu Hibban di dalam kitabnya Ats Tsiqoot.
Antara Kekurangan, Kecemerlangan dan Keimanan
Di usia dua tahun menjadi yatim, seperti Nabinya. Harapan menjadikannya ulama besar, diampu ibunda seorang diri. Badai semakin kencang si anak yatim kehilangan penglihatan menginjak empat tahun kehidupannya. Buta permanen. Tak ada kesembuhan, walaupun berobat ke setiap tempat. Senja ataupun fajar kini tak ada bedanya. Hanya cahaya hati yang menyinari jiwanya. Hilanglah salah satu fungsi organ vital yang menunjang terwujudnya impian.
Namun asa tak pernah tenggelam di hati ibunda. Keimanan, keyakinan akan kekuasaan Rabbnya, menguatkan hati sang bunda untuk terus melaju. Mengalahkan semua rintangan. Senjata mengarungi medan kerasnya kehidupan hanyalah doa. Tak akan sia-sia harap dan pintanya pada pemilik raga serta jiwa seluruh makhluk bernyawa. Semakin khusyu ibadahnya memohon kesembuhan putranya. Suatu hari ibunda berdoa hingga berurai air mata. Kelelahan, lalu tertidur di atas sajadah. Saat itulah sang ibu bermimpi.
Seperti yang dituturkan oleh Muhammad bin Ahmad bin Fadhl al-Balkhi, “Aku mendengar bapakku berkata: ‘Kedua mata Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari) buta pada waktu kecilnya. Hingga suatu saat ibunya mimpi bertemu dengan nabi Ibrahim al-Khalil dalam tidurnya. Nabi Ibrahim itu berkata kepadanya: ‘Wahai engkau perempuan! Sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan anakmu lantaran banyaknya tangisanmu (atau doamu – al-Balkhi sang perawi ragu antara keduanya), lalu pada pagi hari kami melihat, ternyata Allah telah mengembalikan penglihatannya.” (Kitab Thobaqotul Hanabilah jilid 1, halaman 274. kitab Tahdzibul Kamal halaman 1170).
Imam Subkiy rohimahullah berkata bahwa Imam Bukhari pernah kehilangan penglihatannya sebanyak dua kali. Yang pertama di masa kecilnya (sebagaimana yang dikatakan oleh ahli sejarah), dan yang kedua ketika beliau bepergian untuk mencari hadits dikarenakan terik matahari yang sangat menyengat, saat berada di daerah Khurasan. Alhamdulillah, setelah dianjurkan oleh seseorang untuk mencukur rambutnya dan menutupinya dengan sejenis bunga yang daunnya seperti daun keladi, akhirnya beliau dapat melihat kembali.
(Dinukil dari kitab Siirotu Al-Imaam Al-Bukhooriy, karya Syeikh ‘Abdussalam Al-Mubarokfuuriy rohimahullah)
Peran ibunda Imam Bukhari bukan hanya mendoakan tapi juga memperjuangkan pendidikan putranya agar menjadi ulama besar. Menemani dan membersamai putranya mendatangi para imam untuk mempelajari Alquran dan hadits. Serta melakukan perjalanan ke tanah suci untuk belajar ilmu hadits. Hingga Imam Akram Nadwi berkata tentang ibunda Imam Bukhari, “Beliau mungkin tidak menghasilkan Kitab Hadits Bukhari, tetapi beliau menghasilkan penulisnya.”
Daya Ingat dan Kesalehan Sang Yatim
Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Imam Bukhari juga sangat terkenal kekuatan hafalannya. Beliau pernah berkata, “saya hafal seratus ribu hadits shahih, dan saya juga hafal dua ratus ribu hadits yang tidak shahih.” Pada kesempatan yang lain belau berkata, “setiap hadits yang saya hafal, pasti dapat saya sebutkan sanadnya.”
Beliau juga pernah ditanya oleh Muhamad bin Abu Hatim Al Warraaq, “Apakah engkau hafal sanad dan matan setiap hadits yang engkau masukkan ke dalam kitab yang engkau susun (Shahih Bukhari)?” Beliau menjawab, ”Semua hadits yang saya masukkan ke dalam kitab yang saya susun itu sedikit pun tidak ada yang samar bagi saya.”
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Imam Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota. Menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Di antara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Ketakwaan dan keshalihan Imam Bukhari merupakan sisi lain yang amat mengagumkan. Beberapa ulama menuturkan tentang ketakwaan dan keshalihan beliau. Bakar bin Munir berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah Al Bukhari berkata, “Saya berharap bahwa ketika saya berjumpa Allah, saya tidak dihisab dalam keadaan menanggung dosa ghibah (menggunjing orang lain).”
Sulaim berkata, “Saya tidak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri semenjak enam puluh tahun orang yang lebih dalam pemahamannya tentang ajaran Islam, leblih wara’ (takwa), dan lebih zuhud terhadap dunia daripada Muhammad bin Ismail.”
Begitu luar biasa kesalehan dan karya Imam Bukhari, yang ternyata memiliki keterbatasan di masa kecilnya. Namun di tangan ibunda yang salehah dan gigih mendidik anaknya, kekurangan itu bermetamorfosa menjadi kekuatan dan kehebatan. Semoga kita mampu mengambil pelajaran dan meneladani kisah hidup para ulama dan ibunda hebat yang membesarkannya. Selalu berprasangka baik terhadap qadha Allah SWT. Serta menjalankan peran terbaik dalam kehidupan. Wallahu’alam. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.