“TAKWA itu ketika kita mampu membedakan antara bersikap loyal dengan boros, sederhana dengan kikir, bahkan sanggup membedakan antara perasaan dendam dengan upaya memperjuangkan prinsip kadilan.” (Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia)
Imam Fakhruddin ar-Razi adalah sosok ulama yang ahli dalam bidang ilmu fiqh, sastra, mantik (logika), dan ilmu mazhab-mazhab kalam. Ia tergolong pakar di zamannya yang menguasai hikmah, seluk-beluk perkembangan dan tanda-tanda zaman. Majlis-majlis ilmunya selalu dipadati pengunjung yang mempertanyakan berbagai hal, dari persoalan ushul fiqh, tafsir, hingga kesehatan masyarakat. Ia pun banyak menguasai sistem pengobatan ala Nabi (Thib an-Nabawi), serta berbagai ramuan-ramuan herbal untuk mengobati berbagai-macam penyakit di tengah masyarakat.
Tidak jarang ulama-ulama senior ikut duduk di tengah majlisnya untuk menyimak pemikirannya, di antaranya Al-Qutb al-Masri, Zainuddin al-Kasyi, Shihabuddin al-Naisaburi, dan lain-lian. Imam Fakhruddin ar-Razi dikenal sebagai guru dan ulama teladan yang berjiwa demokratis. Tidak jarang pertanyaan para muridnya, dipersilakan dulu bagi murid lainnya untuk membahasnya. Namun, jika tak ada satu pun dari hadirin yang sanggup menjawabnya, barulah ia mulai mengulasnya secara lebih mendalam.
Karya-karyanya turut serta memperkaya khazanah pengetahuan Islam. Ia termasuk salah satu ulama yang memiliki kontribusi besar bagi kemajuan peradaban Islam. Ia cukup terampil mempersembahkan apa yang belum sempat dipersembahkan oleh banyak ulama sebelumnya. Karya-karyanya merupakan warisan luhur literatur Islam yang mengisi ruang kosong yang belum diisi oleh ulama lainnya, atau dengan kata lain melengkapi kesempurnaan khazanah keilmuan Islam.
BACA JUGA: Medsos dan DNA Kaum Inlander
Imam Fakhruddin ar-Razi juga termasuk salah satu ulama yang sangat produktif. Memiliki pemahaman yang mendalam, serta mampu menyuguhkannya dalam bentuk literasi (tulisan). Karya-karyanya adalah warisan berharga sekaligus menara ilmu yang bisa dijadikan acuan dan pedoman. Ibarat mercusuar, cahaya ilmunya dapat menyinari kiri dan kanan, di tengah kegelapan malam.
Beberapa gelar keilmuan yang disandang Imam ar-Razi, di antaranya Imam al-Mutakallimin (panutan ilmu kalam), Syaikhul Islam (guru besar agama Islam), Fakhrul Muslimin (kemegahan orang Islam), al-Imam al-Mutashaddar (panutan dan tempat rujukan), Tajul Muhaqqiqin (mahkota bagi orang yang yakin), Hujjatun fil Alamin (tanda kebesaran Allah di muka bumi).
Kitab-kitab Imam Fakhruddin ar-Razi ditulis dalam dua bahasa, Arab dab Persia. Karyanya yang fenomenal dan menyebar ke seluruh dunia adalah Tafsir al-Kabir, yang dicetak pertama kali di Mesir ke dalam 32 juz. Selanjutnya, kitab Tafsir al-Fatihah, kitab Tafsir as-Shagir, Nihayah al-Uqul, Lubab al-Isyarat, al-Matholib al-Aliyah, Siraj al-Qulub, Sharh al-Isyarat, dan banyak lagi yang lainnya.
Nama lengkap Imam ar-Razi adalah Muhammad bin Umar bin bin Al-Hasan At-Tamimy Al-Bakry Al-Qurasyi At-Tibristani Ar-Razi Asy-Syafi’i Al-Asy’ari atau yang kerap disapa dengan panggilan Imam Fakhruddin ar-Razi, lahir pada 25 Ramadhan 543 H di kota Ray, Teheran, ibu kota Iran sekarang. Di kota Ray itulah ia mendalami ilmu hikmah, kalam dan fiqih melalui gurunya Majdidin al-Jaili, seorang ulama terkenal di Teheran pada zamannya. Bersama sang guru, ar-Razi mengasuh majlis ilmu yang dipadati para pengunjung tiapkali penyampaian tausiyah, sehingga pemerintah setempat amat segan pada peran kedua pemikir dan ulama berpengaruh tersebut.
Salah seorang murid Imam ar-Razi, Ibnu Khalkan pernah menyatakan bahwa gurunya itu pernah menulis dalam salah satu karyanya, Tahsil Al-Haq bahwa ar-Razi pernah belajar langsung dari ayahnya tentang ilmu tauhid dan kalam.
Sementara sang ayah sering menimba ilmu dari Abi al-Qasim Sulaiman bin Nasir al-Ansari, sedangkan Abi al-Qasim belajar dari Imam al-Haramain Abi Ma’ali al-Juwaini, lalu al-Juwaini belajar pula dari Abi Ishaq al-Isfiraiyaini, dan beliau belajar dari Abi al-Husain al-Bahili dan beliau belajar dari Syaikh As-Sunnah wal Jamaah Abi al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari (yang dikenal Abu Hasan Asy’ari) dan Imam Abu Hasan Asy’ari belajar ilmu pada ayah tirinya, seorang penganut Mu’tazilah, Ali al-Juba’i.
Perdebatan agama yang intensif dengan ayah tirinya itu, membuat Hasan Asy’ari semakin matang dalam wawasan ketuhanan (tauhid), yang pemikirannya di kemudian hari menjadi cikal-bakal akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Akidah inilah yang banyak dianut oleh mayoritas muslim Indonesia, dan digawangi oleh komunitas ulama NU (Nahdlatul Ulama).
BACA JUGA: Nietzsche dan Filsafat Nabi
Adapun perihal ilmu fiqih yang didalami Imam Fakhruddin ar-Razi , ia belajar pertama kali dari ayahnya, kemudian sang ayah belajar dari Abu Muhamad al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, kemudian ia belajar dari al-Qhadi Hussin al-Marwazi, lalu al-Marwazi belajar dari al-Qaffal Al-Marwazi, ia belajar pula dari Abi Yazid al-Marwazi, kemudian belajar pula dari Ali Abi Abbas bin Rabah, lalu belajar dari Abi al-Qasim al-Anmathi, dan beliau belajar dari Abi Ibrahim al-Muzani. Kemudian, al-Muzani belajar langsung dari Imam Syafi’i. Di sini, nampak jelas garis mazhab dan aqidah ar-Razi yang menjurus kepada Imam Hasan al-Asy’ari dan Imam Syafi’i.
Selain itu, Imam ar-Razi juga dikenal sebagai ulama dan pemikir yang hafal semua karya al-Haramain mengenai ilmu kalam. Ketika kembali ke kota Ray, Teheran, ia pun menikahkan kedua anaknya dengan dua puteri seorang dokter yang kaya-raya. Sampai kemudian, sang dokter menitipkan semua harta-kekayaannya kepada Imam ar-Razi menjelang wafatnya. []
*Alumni perguruan tinggi International University of Africa, Sudan.
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.