JAKARTA—Imam Masjid Istiqlal Prof Nasaruddin Umar mengatakan, sebagai umat beragama, sebaiknya setiap individu lebih menekankan titik temunya daripada melihat perbedaan.
Hal itu disampaikan Prof. Nasaruddin saat menjadi narasumber dalam Konferensi Nasional ke-IV Asosiasi Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Indonesia yang digelar di Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara pada 5-8 September 2018.
Nasaruddin mengajak umat untuk menekankan aspek sentripetal daripada sentrifugal.
“Sentripetal itu menuju titik pusat, sementara berlawanan dengan sentrifugal. Nah setiap kitab suci agama memiliki substansi yang sama yaitu untuk mengangkat martabat umatnya masing-masing,” kata Prof. Nasaruddin, Ahad (9/9/2018).
Ia menerangkan, dalam Islam Alquran sangat penting, terdapat 6.666 ayat, 144 surat dan 30 juz. Rasulullah mengatakan kesimpulan Alquran ada pada Surat Al-Fatihah yang terdiri dari tujuh ayat. Dalam Surat tersebut kesimpulannya ada pada ayat pertama, yakni bismillahirrohmanirrohim.
Dari kalimat bismillahirrohmanirrohim diambil intinya lagi, ada dua kata terakhir yakni ar-rahman dan ar-rohim artinya Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dua kata ini adalah kesimpulan dari satu akar kata rahimah atau cinta.
“Jadi dari 6.666 ayat kalau kita jadikan satu kata kesimpulannya adalah cinta, tidak boleh seseorang mengatasnamakan Quran kalau mengumbar kebencian, yang paling sah mengatasnamakan Quran adalah menyerukan kecintaan, cinta,” ujarnya.
Prof. Nasaruddin menyampaikan, inti Alquran adalah cinta. Surah Al-Fatihah adalah inti Alquran dan inti seluruh kitab suci sebelumnya. Makanya dikenal sebagai ummul kitab atau induk dari semua kitab yang menebarkan cinta. Ia menilai, atas nama apapun, untuk siapapun, kepada siapapun, tidak ada kata kekerasan dalam Islam.
Ia menegaskan, tidak tepat jika ada orang mengumbar kebencian atas nama Islam dan Alquran. Jika cinta dan ketulusan berpadu jadi satu dalam diri seseorang maka semua akan indah. Akan jadi sebuah lukisan yang indah kalau semua orang menerapkannya. Dibingkai dalam bhineka tunggal ika.
“Kalau putih polos tanpa keberagaman itu bukan lukisan, makanya perbedaan ini harus disyukuri bukan diratapi, tantangan umat beragama ke depan bagaimana menjadi pengayom umat masing-masing,” ujarnya. []
SUMBER: REPUBLIKA.CO.ID