Oleh: DR. M. Hidayat Nur Wahid
IMAN (Akidah) adalah fondasi berislam. Rasulullah SAW bersabda: “Islam dibangun atas lima perkara: Syahadatain (Bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad Rasulullah), mendirikan Shalat, membayarkan Zakat, berpuasa Ramadhan dan pergi Haji bagi yang mampu (HR. Bukhori- Muslim). Hanya di atas fondasi yang benar dan kokohlah bangunan dapat kokoh berdiri, menaungi dan menentramkan.
Iman adalah sapaan yang menyanjung dan menghilangkan sekat serta kebekuan berkomunikasi. Hal itu di dapatkan juga dalam awal perintah Allah tentang berpuasa. Allah berfirman: “Wahai orang-orang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum anda agar anda selalu dapat bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183)
BACA JUGA: Beberapa Pedoman Hidup bagi Orang yang Beriman
Iman mempunyai dua dimensi:
1. Ilmiyah imaniyah sebagai disebut dalam hadits Jibril As ketika Rasulullah ditanya tentang iman, beliau menjawab; Iman adalah keyakinan tentang Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, Hari akhir serta Qodho dan Qodar (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Amaliyah imaniyah, sebagaimana tersebut dalam hadits Wafd Abdil Qois ketika Rasulullah bersabda: “Tahukah kalian tentang iman? Iman adalah keyakinan tentang Allah dan Aku adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan seperlima dari harta, dan berpuasa” (HR. Muslim). Rasulullah juga pernah menegaskan bahwa iman itu terdiri dari 73 tingkatan, yang tertinggi adalah bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, dan yang terendah adalah menghilangkan hal yang menyakitkan/ menghalangi dari jalanan umum (HR. Al Baihaqi). Karenanya iman didefinisikan oleh al Hasan al Bashri sebagai keyakinan benar yang ada dalam hati, diungkapkan dalam lisan dan dibuktikan dalam amalan nyata.
Sebutan lain dari iman adalah akidah yang berarti ikatan yang kukuh kuat, yang mengisyaratkan bahwa sesuatu baru disebut sebagai iman manakala ia mengikat secara kukuh kuat perilakunya agar sesuai dengan nilai yang dikandung oleh iman itu.
Selain itu, iman juga disebut sebagai As Sunnah sebagai bukti bahwa keimanan akan tampil secara benar baik pada tingkat teori maupun praktek bila mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Hal demikian nampak pada peristiwa tiga orang sahabat yang mendatangi rumah isteri-isteri Rasulullah SAW yang bertanya tentang berislamnya (beribadahnya) Rasulullah SAW. Rasulullah juga pernah bersabda: “Tidaklah seseorang disebut sebagai beriman secara sempurna sehingga seluruh aspek kehidupannya bahkan kecenderungannya mengikuti apa yang aku bawakan (sunnahku) (HR. Tirmidzi).
Iman secara epistimologi satu akar dengan kata aman. Dan memang dalam konteks Al Qur’an iman menumbuhkan rasa aman. Allah SWT berfirman: “Bagaimana Aku takut pada sembahan-sembahan yang engkau persekutukan (dengan Allah) padahal engkau tidak takut mempersekutukan dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukannya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapatkan keamanan (dari malapetaka) jika kamu mengetahui. Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah yang mendapatkan petunjuk (QS. Al An’am 81-82).
Karenanya iman yang membawa rasa aman akan memunculkan kepedulian. Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seseorang disebut sempurna imannya, bila ia dapat tidur nyenyak sementara tetangganya gelisah karena kelaparan” (HR. Ahmad). Sebaliknya syirik sebagai versus iman adalah sarang keresahan dan ketidak amanan. Allah SWT berfirman: “Akan Kamu masukkan ke dalam hati orang-orang yang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah (syirik) dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu” (QS. Ali Imron: 151). Allah juga berfirman: “Barangsiapa mempersukutukan sesuatu dengan Allah (syirik), maka seolah-olah ia jatuh dari langit lalu disambar oleh burung atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh” (QS. Al Haj:31).
Langkah meningkatkan iman di antaranya melalui peletakan iman sebelum kajian ke-Qur’anan. Abdullah bin Umar Ra pernah menyampaikan kami pernah hidup pada suatu masa di mana kami meletakkan iman sebelum Al Qur’an. Maka ketika turun wahyu kepada Muhammad SAW kami pelajari mana yang haram mana yang halal, mana yang perintah dan mana larangan dan dimana kami harus berangkat dan berhenti. Sebagaimana anda sekalian mempelajari Al Qur’an sekarang ini. Kemudian aku juga pernah bertemu sekolompok orang yang meletakkan Al Qur’an sebelum iman, ia membaca Al Qur’an itu dari awal hingga akhirnya, tapi ia tidak mengetahui (menyadari) mana yang perintah dan mana yang larangan, mana yang harus berangkat dan mana yang harus berhenti, mereka melakukannya begitu saja seperti ketika anda membuang buah kurma yang buruk’ (HR. Al Hakim).
BACA JUGA: Umar saat Masuk Islam: Tunjukkan Padaku, Dimana Muhammad
Dalam konteks berpuasa, firman Allah dalam ayat 183 surat Al Baqarah di atas, menjelaskan bahwa keimanan yang dibuktikan dengan praktek (seperti berpuasa) akan membawa kepada taqwa, dan taqwa adalah indikasi manusia unggulan menurut Al Qur’an (QS. Al Hujurat: 13). Rasulullah SAW menegaskan barangsiapa yang berpuasa karena iman dan sepenuhnya mengharap ridho Allah, maka ia akan bersih diampunkan seluruh dosanya (HR. Bukhori- Muslim).
Di tengah hiruk pikuk krisis dan ketidak amanan serta ketidak menentuan negara dewasa ini, iman yang melahirkan rasa aman dan kepedulian itu dalam aplikasinya selama bulan Ramadhan mempunyai momentum untuk menjadi fondasi penyelematan diri, masyarakat, umat dan bangsa pada hari-hari berikutnya. []
SUMBER: IKADI