ISLAM adalah rahmat bagi seluruh alam, yang dihiasi dengan kelembutan dan kasih sayang. Islam begitu menjunjung tinggi ahlak seorang muslim termasuk akhlak kepada kedua orang tua.
Ia terlahir dari keluarga non muslim tepatnya di daerah Papua. Namun sang anak beragama Islam.
Ia bernama Rudi. perbedaan agama antara anak dan ayah ini tidak menghalangi keakraban mereka. Sang Ayah pun mengizinkan Rudi untuk menimba ilmu di Pondok Pesantren Al Payage.
Rudi yang setiap hari mengaji, mendengar petuah KH. Saiful Islam Al Payage pimpinan Pondok, mengerti betul pentingnya akhlak terhadap orang tua meski berbeda agama.
Saya jadi teringat sebuah kisah. Dimana dahulu ketika Rasulullah mengakhiri shalat subuh berjamaah dengan salam, lalu melakukan dzikir bersama-sama dan selesai berdoa, Sahabat Umar bin Khathab memberanikan diri untuk bertanya kepada Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, mengapa hari ini shalat Subuhmu tidak seperti biasanya?”
“Kenapa? Apa yang berbeda?” Tanya Nabi.
“Sangat lain, ya Rasulullah,” kata Umar.
“Biasanya engkau ruku dalam rakaat yang kedua tidak sepanjang pagi ini. Tapi engkau ruku lama sekali. Mengapa?” sambungnya.
“Aku juga tidak tahu. Hanya tadi, pada saat aku sedang ruku dalam rakaat yang kedua, Malaikat Jibril turun lalu menekan punggungku sehingga aku tidak dapat bangun I’tidal,” ujarnya.
Umar semakin heran.”
“Mengapa Jibril berbuat seperti itu, ya Rasul?”
Nabi menggeleng ramah seraya berkata, “Aku juga belum tahu, karena Malaikat JIbril belum menceritakannya kepadaku.”
Dengan perkenan Allah:
“Muhammad. Aku tadi diperintahkan Allah untuk menekan punggungmu dalam rakaat yang kedua. Sengaja agar Ali mendapat kesempatan salat berjamaah denganmu, karena Allah sangat suka kepadanya bahwa ia telah menjalani ajaran agama-Nya secara bertanggung jawab, yaitu dengan menghormati seorang kakek tua beragama Yahudi. Dari penghormatannya itu sampai terpaksa dia berjalan pelan sekali. Jika punggungmu tidak kutekan tadi, pasti Ali akan terlambat dan tidak memperoleh peluang untuk menunaikan salat Subuh berjamaah bersama denganmu,” tukas malaikat jibril.
Kenapa dengan Ali?
Pada hari itu Sahabat Ali bin Abi Thalib bergegas bangun untuk dapat mengerjakan shalat Subuh berjamaah seperti biasanya di masjid bersama Rasulullah.
Langit masih amat gelap ketika Sahabat Ali keluar dari rumahnya dan berjalan tergesa-gesa menuju ke masjid.
Sahabat Bilal sudah memanggil-manggil dengan suara adzannya yang berkumandang merdu ke segenap penjuru dan sudut-sudut kota Madinah.
Namun ketika Sahabat Ali bin Abi Thalib berada di jalan menuju tempat jamaah yang jaraknya masih cukup jauh, ternyata di depannya ada seorang kakek tua beragama Yahudi yang melangkah pelan sekali karena usianya yang telah lanjut (uzur).
Kakek itu berjalan tertatih-tatih.
Sahabat Ali sebenarnya sudah berusaha agar tidak ketinggalan mengerjakan salat tahiyatul masjid dan qabliyah Subuh sebelum bersama Rasulullah dan para sahabat lainnya melaksanakan jamaah.
Tapi, lantaran Nabi mengajarkan supaya setiap umat Islam menghormati orang tua, siapa pun orang tua itu dan apa pun agamanya, maka Sahabat Ali terpaksa berjalan di belakang kakek itu.
Karena si kakek berjaan amat lambat, Sahabat Ali pun melangkah sangat pelan. Kakek itu lemah sekali, dan Ali tidak sampai hati untuk mendahuluinya, takut kalau-kalau kakek Yahudi tersebut celaka atau terjatuh.
Akibatnya, ketika mendekati masjid langit sudah hampir kuning.
Kakek itu melanjutkan perjalanannya, melewati masjid dan tidak masuk ke dalamnya, sebab tempat ibadah agama Yahudi bukan di masjid. Sahabat Ali menyangka salat Subuh pasti sudah usai. Namun ia tetap cepat-cepat masuk ke dalam masjid.
Alangkah herannya Ali. Melihat Nabi dan para sahabat masih ruku pada rakaat yang kedua, berarti Sahabat Ali punya kesempatan untuk menunaikan salat berjamaah.
Sebab, jika masih bisa menjalankan ruku bersama, berarti masih kebagian satu rakaat. (KitabMawa’idhul Ushfuriyyah, Hadist Ketiga)
Itulah sejatinya Islam. Begitu menjunjung ahlak, meskipun dengan agama lain.
Seperti kata KH.Mustofa Bisri .
“Tetaplah jadi manusia, mengertilah manusia, dan manusiakanlah manusia”
Sumber: Ustadz Abdul Wahab, Aktivis Muda Nahdlatul Ulama yang kini berkhidmad di tanah Papua oleh cyberdakwah