Oleh: Mulkan Fauzi
KITA belajar dari kisah seorang buruh yang mengadu kepada Imam Asy-Syafi’i tentang kemalangan keluarganya, ketika upah kerja yang ia terima tak sanggup membahagiakan istri dan anaknya di rumah. Suatu ketika, “Wahai imam, sesungguhnya aku tengah ditimpa kemalangan, tolonglah saya!”
Imam Asy-Syafi’i kemudian bertanya, “Ada apa gerangan dengan engkau?”
Kemudian berceritalah si buruh itu kepada Imam Asy-Syafi’i tentang kemalangan yang tengah dideritanya, “Ya Imam, aku bekerja, gajiku besar: 5 dirham per hari, tapi keluargaku tak bahagia; kami pas-pasan; istriku tidak menghormatiku, anakku bandel tidak alang kepalang. Apa yang mesti aku lakukan?”
“Besok temui bosmu, minta kurangi upahmu menjadi 4 dirham saja.” nasehat Sang Imam.
Dengan kepala yang kebingungan, lisan dan hatinya mempercayai perkataan Sang Imam. ‘Ini Sang Imam. Ia orang benar. Aku percaya’ gumamnya dalam hati. “Baiklah.” ucapnya.
Selang beberapa hari berlalu, si buruh ini kembali menemui Sang Imam, meminta petuahnya untuk masalah yang masih sama.
“Ya Imam, seperti nasehatmu, aku menghadap bosku. Sekarang upahku 4 dirham saja, tetapi keluargaku tetap tidak bahagia; keadaan kami masihlah sama; Istri dan anakku masihlah seperti sebelumnya. Apa yang harus aku lakukan lagi, wahai Imam?”
“Temui lagi bosmu, minta ia untuk kurangi lagi upahmu jadi 3 dirham saja.”
Mungkin saja terbesit dalam pikiran si buruh, ‘Makin aneh aja ini nasihat. Tapi ia orang benar. Aku percaya.’, tetapi kemudian ia berkata, “Baiklah, aku akan meminta bosku untuk mengurangi upahku jadi 3 dirham.”
Beberapa waktu kemudian, si buruh kembali menghadap kepada Sang Imam dengan wajah yang berbeda, “Ya Imam, Ma Syaa Allah, Tabarakarrahmaan, upahku sekarang cuma 3 dirham, tapi rasanya semua cukup, bahkan berlimpah. Upahku cuma 3 dirham, tapi sekarang tiap aku pulang sambutan istriku begitu aduhai… manis sekali, lembut, mesra; begitu luar biasa.
Upahku cuma 3 dirham, Ya Imam, tapi anakku sekarang itu patuh-patuh, sholeh-sholeh, rajin-rajin ibadahnya; keluarga kami dilimpahi keberkahan; keluarga kami seperti dimudakan beberapa tahun, berbeda sekali ketika upahmu 5 dirham. Apa sebenarnya yang terjadi?”
Imam Asy-Syafi’i kemudian membacakan sebuah syair yang indah sekali,
“Dia mengumpulkan yang haram
untuk masuk kepada yang halal
dia kira supaya menjadi ban.yak
padahal merusak”
“Lantas sebenarnya apa pekerjaanmu?” lanjut Sang Imam bertanya.
“Aku bekerja menjaga gudang saja. Pekerjaan yang santai-santai. Gak terlalu capek.” jawab si buruh itu.
“Pantas,” balas Sang Imam, “pekerjaanmu itu nilainya 3 dirham saja. Maka ketika engkau menerima 5 dirham, 2 dirham sisanya itu bukan hakmu; 2 dirham itulah yang merusak keberkahanmu.”
———–
Apa yang dapat kita ambil pelajaran, adalah bahwa rezeki bukanlah sekumpulan angka-angka; rezeki adalah pintu masuk keberkahan yang dicurahkan pada hati-hati yang terlatih untuk berbahagia dengan penerimaan sepenuh tulus akan sebuah ketetapan, bukan pada yang menginginkan lebih, sedang apa yang dilakukan tak sepadan. []