- Myanmar sebelumnya menjanjikan tim PBB dapat memasuki Rakhine.
- Tanpa alasan jelas, Myanmar tiba-tiba membatalkan janjinya tersebut secara sepihak.
YANGOON—Terkait krisis kemanusiaan yang menimpa etnis minoritas Rohingya, pemerintah Myanmar sempat menjanjikan akan mengizinkan tim PBB memasuki wilayah konflik tersebut di Rakhine.
Selain badan-badan PBB, diplomat serta wartawan asing juga diizinkan untuk memasuki wilayah Rakhine dengan pengawalan ketat.
Namun, ditengah jalan, pemerintah Myanmar tiba-tiba membatalkan janjinya tersebut secara sepihak.
Seperti dilansir Straits Times, Kamis (28/9/2017), juru bicara PBB di Yangon mengatakan bahwa kunjungan mereka tersebut telah dibatalkan pemerintah Myanmar, namun tidak ada alasan terkait keputusan tersebut.
Sebelumnya, juru bicara PBB Stephane Dujarric mengungkapkan rencana investigasi yang akan dilakukan tim PBB dan telah dijadwalkan akan berlangsung pada Kamis, (28/9/2017) lalu.
“Kami berharap ini merupakan langkah awal menuju akses yang lebih bebas dan lebih luas ke daerah tersebut,” kata Dujarric dengan menambahkan bahwa kepala badan PBB akan ikut serta dalam perjalanan itu.
PBB sendiri telah menyusun rencana darurat untuk memberi makan 700 ribu pengungsi Rohingya dari Myanmar, dan berpesan bahwa mereka yang melarikan diri akan segera pulang ke rumahnya masing-masing.
“Semua badan PBB bersama-sama sekarang telah menetapkan rencana untuk masuknya 700 ribu baru. Kami dapat mencakup jika arus masuk baru mencapai 700.000,” kata wakil kepala Program Pangan Dunia di Bangladesh, Dipayan Bhattacharyya, pada hari Rabu.
Namun pada Rabu, (27/9/2017), Militer Myanmar menyelenggarakan tur pers di desa Hindu Ye Baw Kyaw.
Dalam tur tersebut, Militer Myanmar mengungkapkan keberadaan kuburan massal yang berisi 45 penduduk desa Hindu ditemukan di daerah awal pekan ini. Militer Myanmar kemudian menuduh gerilyawan Rohingya berada di balik pembantaian tersebut.
Namun tudingan tanpa bukti tersebut dibantah keras oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). “Secara kategoris” membantah bahwa anggotanya “melakukan pembunuhan, kekerasan seksual, atau rekrutmen paksa” di wilayah tersebut.
Militer Myanmar sendiri ditenggarai mencoba mengendalikan narasi mengenai krisis kemanusiaan ini, dengan membatasi akses media ke zona konflik dan menyalahkan Rohingya atas pertumpahan darah tersebut.
Etnis Rohingya, menjadi kelompok warga negara tanpa status kewarganegaraan terbesar di dunia. Mereka dipersekusi dan diperlakukan sebagai orang asing di Myanmar. []