NEW YORK—Perhelatan Sidang Majelis Umum PBB (UNGA) akan digelar di New York pada 25 September 2018. Perwakilan tinggi dari 200 negara anggota PBB akan berkumpul untuk membahas masalah politik dan kebijakan paling penting yang mempengaruhi dunia saat ini.
Menurut kabar dari Al Jazeera pada Senin (24/9/2018), ada lima topik krusial yang akan dibahas oleh para pemimpin dan perwakilan negara dunia dalam Sidang Majelis Umum PBB tersebut.
Berikut ini 5 isu utama yang akan dibahas dalam forum tersebut:
1. Rohingya
Sidang UNGA tahun ini dilaksanakan hanya beberapa pekan setelah Tim Pencari Fakta badan HAM PBB menyatakan bahwa militer Myanmar bertanggungjawab penuh atas tindak genosida terhadap kelompok etnis muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine.
BACA JUGA: Myanmar Wajib Jalankan Rekomendasi PBB soal Krisis Rohingya
Laporan itu merekomendasikan bahwa kepemimpinan militer negara itu harus dituntut atas genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan di Negara Bagian Rakhinepada 2017 lalu. Kala itu, sekitar 700.000 orang Rohingya terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk mencari tempat pengungsian yang aman.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Agustus 2018 lalu telah menyerukan Myanmar agar bertanggung jawab atas “salah satu krisis kemanusiaan dan hak asasi manusia terburuk di dunia”.
Pengadilan Pidana Internasional mengatakan mereka memiliki yurisdiksi untuk mengajukan dakwaan terhadap para pemimpin militer tetapi pemerintah negara itu telah menyangkal ini, dan menolak semua laporan PBB.
“Pertemuan para pemimpin di Majelis Umum di New York memiliki kesempatan emas untuk mengirim pesan yang kuat dan membuka jalan bagi keadilan bagi Rohingya dan untuk etnis minoritas yang diserang di Myanmar utara,” kata Sherine Tadros, Kepala Perwakilan Amnesty International di Markas PBB New York, “Negara harus melihat kebohongan dan penipuan Myanmar yang berulang, dan membangun mekanisme independen untuk mengumpulkan dan melestarikan bukti kejahatan di bawah hukum internasional sebelum terlambat.”
2. Suriah
Selain Rohingya, krisis kemanusiaan yang juga mendapat perhatian dari PBB adalah Suriah.
Sebelumnya, PBB telah memperingatkan tentang meningkatnya fenomena pengungsi internal di Suriah ketika pasukan pemerintah mencoba merebut wilayahnya yang dikuasai pihak oposisi.
PBB telah memperingatkan “bencana kemanusiaan terburuk” abad ini dapat terjadi jika konflik terus meningkat. Para pejabat PBB telah meminta semua pihak yang terlibat di Suriah untuk menghindari jatuhnya korban sipil. Namun, peringatan itu tak dihiaraukan.
“Jika kita melihat tiga juta orang yang melarikan diri menuju ke perbatasan Turki, ini adalah skenario yang jauh lebih besar daripada kapasitas semua organisasi kemanusiaan disatukan,” kata koordinator kemanusiaan regional PBB untuk krisis Suriah, Panos Moumtzis mengatakan pekan lalu.
Saat UNGA dijadwalkan berlangsung, tentara Suriah, yang didukung oleh kekuatan udara Rusia, masih melakukan operasi militer di provinsi utara Idlib.
3. Badan PBB untuk Urusan Pengungsi Palestina (UNRWA)
Sidang Majelis Umum PBB tahun ini juga dijadwalkan akan membahas soal dana Badan PBB Urusan Pengungsi Palestina (UNRWA) yang dihentikan oleh Amerika Serikat (AS). Penghentian donasi ini menyebabkan lembaga yang mengurus hampir 5 juta jiwa pengungsi Palestina itu mengalami defisit besar dana operasional.
UNRWA didirikan pada tahun 1949 setelah pengusiran orang-orang Palestina selama Nakba, dan telah menjadi lembaga tempat bagi jutaan orang-orang Palestina di Gaza, Tepi Barat, dan negara-negara tetangga seperti Yordania dan Suriah, menggantungkan hidupnya.
AS secara historis telah menjadi donor utama, tetapi sejak pemerintahan Presiden Donald Trump, pendanaan yang datang dari Washington menurun drastis.
Kerugian pun telah dirasakan oleh UNRWA dan para pengungsi Palestina. Organisasi itu telah mem-PHK 158 guru dan 194 pekerja kontrak. Pengoperasian banyak sekolah, rumah sakit dan fasilitas lainnya juga terancam lumpuh.
Dewan Nasional Palestina telah meminta pemerintah di seluruh dunia untuk menggunakan Majelis Umum untuk menentang AS.
Turki telah melipatgandakan kontribusinya sejak AS mengakhiri dukungannya, tetapi PBB memerlukan lebih banyak dana, untuk mengatasi defisit badan itu yang mencapai sebesar US$ 217 juta.
“Jika kami tidak dapat memenuhi defisit ini pada akhir tahun, semua layanan UNRWA akan dipertaruhkan, apakah pendidikan, medis atau sosial,” kata jurubicara UNRWA Huda Saeebi.
4. Iran
Presiden AS Donald Trump menggunakan pidato Majelis Umum pertamanya tahun lalu untuk menentang Iran, menyebut negara itu sebagai “kediktatoran yang korup” dan mengkritik Teheran karena memberikan dukungan bagi Presiden Suriah Bashar al-Assad dan Hizbullah.
Trump juga telah menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran (JCPOA 2015) pada Mei 2018 lalu.
“Orang-orang garis keras tidak menginginkan apa pun selain bagi Iran untuk menjadi lebih terisolasi secara internasional,” kata Holly Dagres, peneliti non-tetap di Atlantic Council, “Di sisi lain, mereka yang mencari kesepakatan dengan Barat, yakni para reformis dan pragmatis, percaya bahwa jika Rouhani tidak menghadiri Majelis Umum, itu akan merugikan kedudukan diplomatik Iran.”
Dagres mengharapkan Rouhani akan mengulangi beberapa pernyataan masa lalunya di New York.
“Ini termasuk bagaimana Amerika Serikat menjadi lebih terisolasi karena kebijakan administrasi Trump … dampak sanksi, dan klaim bahwa Iran adalah negara yang tangguh yang telah mengalami kondisi yang jauh lebih buruk. Rouhani juga akan fokus pada isu-isu regional termasuk bagaimana Tehran berjuang melawan ISIS di Irak dan Suriah.”
BACA JUGA: PBB: UNRWA Kekurangan Dana 270 Juta Dolar
Presiden Iran juga dapat mengharapkan kritik pedas dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang tahun lalu memperingatkan delegasi bahwa perluasan pengaruh Teheran di kawasan sangat berisiko mendestabilisasi Timur Tengah.
5. Korea Utara
Tahun ini, perkembangan besar terjadi di Semenanjung Korea saat perjanjian perdamaian bersejarah antara Korea Utara dan Korea Selatan di Panmunjom dilakukan pada April 2018 dan pertemuan antara Donald Trump dan Kim Jong-un di Singapura pada Juni 2018. Keduanya membahas kesepakatan menuju “denuklirisasi lengkap” Pyongyang.
Kesepakatan itu memang tak mendetail dan keberlanjutannya tidak dapat diprediksi sejak itu. Namun, presiden Korut dan Korsel telah melakukan pertemuan lanjutan sebanyak dua kali usai pertemuan pertama mereka yang bersejarah. Keduanya berjanji untuk membawa perdamaian ke Semenanjung Korea.
“Cahaya hangat KTT Pyongyang antara Korea Utara dan Korea Selatan pasti akan berlanjut melalui Majelis Umum,” kata Mark Fitzpatrick, “Presiden Moon akan bertemu dengan Presiden Trump di New York dan berusaha membujuknya untuk menanggapi secara positif langkah-langkah yang digariskan di Pyongyang (mereferensikan pada KTT Kim Jong-un dan Moon Jae-in pekan lalu) … untuk secara permanen menutup situs nuklir Yongbyon.”
Isu perdamaian di semenanjung Korea ini juga rencananya akan naik ke forum sidang umum PBB 25 September 2018. []
SUMBER: AL JAZEERA