ALLAH Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dengan kemampuan yang berbeda-beda. Termasuk dalam kemampuan materi pun, ada yang berlebih dengan harta, ada yang cukup dan ada pula yang kurang. Hal yang membedakan ini ada untuk saling melengkapi. Seseorang yang cukup atau kurang dalam materi bisa tertutupi oleh orang yang berlebih dengan materi.
Berbicara mengenai materi atau harta manusia, seringkali terdapat sesuatu yang tidak menyenangkan. Selalu saja ada masalah dalam urusan ini. Salah satunya mengenai utang. Ya, seseorang yang sedang memiliki kebutuhan mendesak tetapi tak mampu memenuhinya, seringkali meminjam uang pada orang yang mampu secara materi. Dan ia berkewajiban untuk mengembalikannya.
Hanya saja, terkadang, sang pengutang cukup sulit untuk mengembalikan utang. Sehingga, butuh untuk ditagih agar ia mau membayar utang. Sebab, kita tahu bahwa utang itu wajib dibayar. Dan sang pemberi utang wajib pula mengingatkan pada pengutang yang belum melunasi utangnya.
Nah, dalam proses menagih utang ini, dalam Islam telah diatur dengan baik. Sedikitnya ada tujuh kaidah yang harus kita ketahui. Apa sajakah itu?
Pertama, Islam menyarankan agar dilakukan pencatatan dalam transaksi utang piutang.
Terlebih ketika tingkat kepercayaanya kurang sempurna. Semua ini dalam rangka menghindari sengketa di belakang. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar,” (QS. Al-Baqarah: 282).
Dalam tafsir as-Sa’di dinyatakan, “Perintah untuk mencatat semua transaksi utang piutang, bisa hukumnya wajib, dan bisa hukumnya sunah. Mengingat beratnya kebutuhan untuk mencatatnya. Karena jika tanpa dicatat, rentan tercampur dengan bahaya besar, kesalahan, lupa, sengketa dan pertikaian,” (Tafsir as-Sa’di, hlm. 118).
Kedua, Allah memerintahkan kepada orang yang memberikan utang, agar memberi penundaan waktu pembayaran, ketika orang yang berutang mengalami kesulitan pelunasan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui,” (QS. Al-Baqarah: 280).
Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan, “Allah perintahkan kepada orang yang memberi utang untuk bersabar terhadap orang yang kesulitan, yang tidak mampu melunasi utangnya. Jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Tidak seperti tradisi jahiliyah. Mereka mengancam orang yang berutang kepadanya ketika jatuh tempo pelunasan telah habis, ‘Kamu lunasi utang atau ada tambahan pembayaran (riba).’ Kemudian Allah menganjurkan untuk menggugurkan utangnya, dan Allah menjanjikan kebaikan dan pahala yang besar baginya,” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/717).
Rasulullah ﷺ menjanjikan baginya pahala sedekah selama masa penundaan. Beliau bersabda, “Siapa yang memberi tunda orang yang kesulitan, maka dia mendapatkan pahala sedekah setiap harinya. Dan siapa yang memberi tunda kepadanya setelah jatuh tempo maka dia mendapat pahala sedekah seperti utang yang diberikan setiap harinya,” (HR. Ahmad 23046, Ibnu Majah 2418 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Ketiga, memberikan utang termasuk transaksi sosial, amal soleh yang berpahala.
Karena itu, orang yang memberi utang dilarang mengambil keuntungan karena utang yang diberikan, apapun bentuknya selama utang belum dilunasi.
Sahabat Fudhalah bin Ubaid Radhiallahu ‘Anhu mengatakan, “Setiap piutang yang memberikan keuntungan maka (keuntungan) itu adalah riba.”
Keuntungan yang dimaksud dalam riwayat di atas mencakup semua bentuk keuntungan, bahkan sampai bentuk keuntungan pelayanan. Dari Abdullah bin Sallam Radhiyallahu ‘Anhu, beliau mengatakan, “Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi memberikan fasilitas kepadamu dengan membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak maka janganlah menerimanya, karena itu riba,” (HR. Bukhari 3814).
Kemudian, diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, “Apabila kalian mengutangkan sesuatu kepada orang lain, kemudian (orang yang berutang) memberi hadiah kepada yang mengutangi atau memberi layanan berupa naik kendaraannya (dengan gratis), janganlah menaikinya dan jangan menerimanya,” (HR. Ibnu Majah 2432). []
BERSAMBUNG
Sumber: Ustadz Ammi Nur Baits, Dewan Pembina Konsultasisyariah.com melalui PengusahaMuslim.com