Keempat, terkait nilai penurunan mata uang.
ORANG yang memberi utang, hendaknya siap menerima risiko penurunan nilai mata uang. Karena ulama sepakat, orang yang memberi utang hanya berhak meminta pengembalian sebesar uang yang dia berikan, tanpa memperhatikan keadaan penurunan nilai mata uang.
Dalam Mursyid al-Hairan – kitab mumalah madzhab hanafi – dinyatakan, “Apabila orang berutang sesuatu berupa barang yang ditakar, atau ditimbang atau emas perak yang dicetak, kemudian harganya mengalami penurunan atau kenaikan, maka dia wajib mengembalikan utangnya sama seperti yang dia pinjam. Tanpa memperhitungkan penurunan maupun kenaikan harga,” (Mursyid al-Hairan ila Ma’rifah Ahwalil Insan fil Muamalat ’ala Madzhabi Abu hanifah an-Nu’man, keterangan no. 805).
Ibnu Abidin mengatakan semisal, “Tidak ada kewajiban bagi orang yang memiliki utang selain yang sama dengannya, dengan sepakat ulama,” (Tanbih ar-Ruqud ’ala Masail an-Nuqud, hlm. 64).
Demikian keterangan dalam madzhab hanafi. Keterangan yang sama juga disampaikan dalam madzhab Syafiiyah.
As-Syairazi mengatakan, “Wajib bagi orang yang berutang untuk mengembalikan yang semisal, untuk harta yang ada padananya. Karena konsekuensi utang adalah mengembalikan dengan yang semisal,” (al-Muhadzab, 2/81).
Kemudian, keterangan dalam Madzhab Hambali, kita simpulkan dari penjelasan Ibnu Qudamah, “Orang yang berutang wajib mengembalikan yang semisal, untuk barang yang memiliki padanan. Baik harganya turun maupun naik atau sesuai keadaan awal,” (al-Mughni, 4/244).
Di tempat lain, beliau mengatakan bahwa itu sepakat ulama, “Wajib mengembalikan yang semisal untuk barang yang ditakar maupun ditimbang. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini.”
Ibnul Mundzir mengatakan, “Semua ulama yang kami ketahui, mereka sepakat bahwa orang yang berutang sesuatu yang halal, kemudian dia mengembalikan dengan semisal, maka hukumnya boleh dan bagi pemberi utang, bisa menerimanya,” (al-Mughni, 4/239).
Kelima, apabila uang yang dulu tidak berlaku.
Utang dengan uang masa silam, kemudian masyarakat tidak lagi memberlakukannya, dengan apapun sebabnya, maka yang wajib dilakukan adalah mengembalikan dengan mata uang yang senilai dengan mata uang yang tidak berlaku itu atau dengan emas atau perak. Karena untuk mengembalikan yang semisal (al-Mitsl) tidak memungkinkan, sehingga dikembalikan dalam bentuk nilai (al-Qimah).
Ibnu Qudamah mengatakan, “Apabila utang dalam bentuk uang kertas atau uang logam, kemudian pemerintah menariknya, dan tidak lagi menggunakan jenis uang ini, maka orang mengutangi berhak mendapat uang yang senilai. Dan dia tidak harus menerima uang kuno itu, baik uang yang diutangkan itu masih ada di tangan maupun sudah rusak. Karena tidak memungkinkan untuk memilikinya,” (al-Mughni, 4/244).
Kemudian beliau menegaskan, “Dia tentukan berapa nilai uang ketika dia mengambilnya. Kemudian dia berikan uang itu. Baik nilainya turun sedikit maupun banyak,” (al-Mughni, 4/244).
Sebagai ilustrasi, tahun 1991 si A memberi utang 50 ribu bergambar presiden orba. Di tahun 2011 si B melunasi dengan uang 50 ribu bergambar I Gusti Ngurah Rai. Karena uang kuno, tidak berlaku. Meskipun nilai 50 ribu dari tahun 1991 hingga 2011 mengalami penurunan yang sangat tajam.
Keenam, pembayaran utang dalam bentuk yang lain.
Dibolehkan menerima pembayaran utang dalam bentuk yang lain, misalnya utang uang dibayar emas, atau utang rupiah dibayar dollar, atau semacamnya dengan syarat,
1. Kesepakatan beda jenis pembayaran ini tidak dilakukan pada saat utang, namun baru disepakati pada saat pelunasan.
2. Menggunakan standar harga waktu pelunasan, dan bukan harga waktu utang.
Keterangan di atas, berdasarkan keputusan Majma’ al-Fiqhi al-Islami no. 75 (6/7), yang menyatakan, “Boleh dilakukan kesepakatan antara kreditur dan debitur pada waktu pelunasan – bukan pada waktu sebelumnya – untuk pelunasan utang dengan mata uang yang berbeda dengan mata uang ketika utang. Jika estándar harga sesuai harga tukar uang itu, waktu pelunasan.
Dalil bolehnya hal ini adalah hadis dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa beliau menjual onta di Baqi’ dengan dinar, dan mengambil pembayarannya dengan dirham. Kemudian beliau mengatakan, “Aku mendatangi Nabi ﷺ dan kusampaikan, ‘Saya menjual onta di Baqi’ dengan dinar secara kredit dan aku menerima pembayarannya dengan dirham.’ Beliau bersabda, “Tidak masalah kamu mengambil dengan harga hari pembayaran, selama kalian tidak berpisah, sementara masih ada urusan jual beli yang belum selesai,” (HR. Ahmad 5555, Nasai 4582, Abu Daud 3354, dan yang lainnya).
Sebagai ilustrasi, misal, tahun 1991 harga emas 25 ribu/gram. Tahun 2014 harga emas 400 ribu/gram. Tahun 91, uang rupiah 1 juta mendapat 40 gram emas, tahun 2014, hanya mendapat 2,5 gram.
Tahun 1991 si A utang 1 juta ke si B. Selanjutnya mereka berpisah lama. Tahun 2014, mereka ketemu dan si B meminta utang si A dilunasi dengan emas. Ada beberapa kasus di sini,
1. Si B menuntut agar utang si A dibayar dengan 40 gram emas.
2. Si B menuntut agar utang si A dibayar dengan uang senilai 40 gram emas, sekitar 16 juta.
3. Si B menuntut agar utang si A dibayar dengan 2,5 gram emas.
4. Si B menuntut agar utang si A dibayar dengan uang senilai 2,5 gram emas, sehingga nilainya tetap 1 juta.
Dari keempat kasus di atas, untuk kasus poin 1 dan poin 2 statusnya terlarang, karena termasuk riba dalam utang piutang. Dan ini tidak memenuhi syarat kedua seperti yang disebutkan dalam fatwa di atas, meskipun tahun 1991, mereka tidak pernah melakukan kesepakatan ini.
Sementara kasus poin 3 dan poin 4 ini yang benar, memenuhi kedua syarat yang disebutkan dalam fatwa di atas.
Secara sederhana, si B mengalami kerugian. Karena nilai 1 juta dulu dan sekarang, jauh berbeda. Namun sekali lagi, ini konsekuensi utang piutang. Pemberi utang mendapatkan pahala karena membantu orang lain, di sisi lain, dia harus siap dengan konsekuensi penurunan nilai mata uang.
Ketujuh, kelebihan dalam pelunasan utang.
Dibolehkan adanya kelebihan dalam pelunasan utang dengan syarat,
1. Tidak ada kesepakatan di awal.
2. Dilakukan murni atas inisiatif orang yang berutang.
3. Bukan tradisi masyarakat setempat
Dalilnya hadis dari Abu Rafi’ Radhiallahu ‘Anhu, beliau menceritakan, “Pada suatu saat Rasulullah ﷺ berutang seekor anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Nabi ﷺ unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Raafi’ untuk mengganti anak unta yang beliau utang dari orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Raafi’ kembali menemui beliau dan berkata, “Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur enam tahun.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, “Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya,” (Muttafaqun ‘alaih).
Akan tetapi, jika keberadaan tambahan ini diberikan karena ada kesepakatan di awal, atau permintaan pihak yang mengutangi (kreditor), atau karena masyarakat setempat memiliki kebiasaan bahwa setiap utang harus bayar lebih, maka tambahan semacam ini terhitung riba.
Itulah beberapa kaidah yang perlu kita ketahui dalam menagih utang. Jadi, dalam hal menagih pun, perlu bagi kita memperhatikan hal-hal lain. Bukan hanya sekadar memikirkan bagaimana caranya materi yang diutangkan pada orang lain itu kembali, atau bahkan berharap lebih. []
HABIS
Sumber: Ustadz Ammi Nur Baits, Dewan Pembina Konsultasisyariah.com melalui PengusahaMuslim.com