BERHUBUNGAN intim, menurut Imam al-Ghazali, haruslah dilakukan dengan rangkaian persiapan. Etika ini dirangkum Imam al-Ghazali dari akhlak yang diajarkan Rasulullah SAW (naqli) dan pendekatan akal (aqli).
Ulama yang bergelar Hujjatul Islam ini memandang bahwa aktivitas hubungan seksual, bukan hanya sekadar kegiatan rutin pelepasan syahwat belaka.
Bagi Imam al-Ghazali, hubungan seksual merupakan sebuah aktivitas fisik sekaligus psikis dengan cukup kompleksitas yang melibatkan perasaan, bahasa tubuh, bahasa verbal, dan berdimensi ibadah serta medis.
Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam karyanya Al-Adab fid Din.
آداب الجماع- طيب الرائحة ولطافة الكلمة وإظهار المودة وتقبيل الشهوة والتزام المحبة ثم التسمية وترك النظر إلى الفرج فإنه يورث العمى والستر تحت الإزار وترك استقبال القبلة
Artinya, “Etika berhubungan badan dengan istri antara lain mengenakan wangi-wangian, menggunakan kata-kata yang lembut, mengekspresikan kasih-mesra, memberikan kecupan menggelora, menunjukkan sayang senantiasa, baca bismillah, tidak melihat kemaluan istri karena konon menurunkan daya penglihatan, mengenakan selimut atau kain (saat bercinta), dan tidak menghadap kiblat,” (Lihat Imam Al-Ghazali dalam Al-Adab fid Din, Beirut, Al-Maktabah As-Sya‘biyyah, halaman 175).
Suasana ruangan harus dipersiapkan senyaman mungkin. Untuk itu aroma ruangan perlu diciptakan agar sedap dan harum. Selain ruangan tubuh dengan segala organ di dalamnya sedapat mungkin jauh dari aroma busuk.
Kondisi psikis perlu diperhatikan. Bahasa tubuh harus menunjukkan kasih-mesra. Sementara bahasa verbal juga menempati posisi agak penting dengan intonasi yang lembut dan pilihan kata-kata yang santun.
Berikutnya Imam Al-Ghazali mengingatkan umat Islam untuk memperhatikan rambu-rambu agama Islam seperti membaca bismillah, bertutup selimut atau kain saat berhubungan, tidak menghadap kiblat, dan tidak memandang kemaluan pasangan.
Semua rangkaian adab ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas hubungan seksual dan menambah keharmonisan pasutri. Wallahu a’lam. []
Sumber: laman nu online.