“Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu mengelilingi sebuah sumur sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Wanita itu segera melepas sepatunya (untuk digunakan menimba air). Ia pun diampuni karenanya,” (HR. Muslim).
Hadits wanita pezina, yang diampuni karena memberi minum seekor anjing yang kehausan, jika diangkat kepermukaan, seakan memberi angin segar, bagi mereka yang melakukan maksiat. Mereka akan merasa baik-baik saja dengan dosa-dosa yang diperbuat. Bukankah hanya dengan berbelas kasih pada binatang, toh dosa besar itu akan diampuni Allah? Kan Allah Maha Pengasih?
Bukan, bukanlah seperti itu pemahamannya. Untuk mengkaji suatu persoalan, kita tidak bisa menyandarkannya pada satu hadits saja, harus ada yang mengirinya, dan Al Qur’an sebagai pegangan utama kita.
Sama seperti memahami hadits seorang pemuda yang membunuh 99 orang, ditambah 1 seorang rahib, karena rahib tersebut mengatakan bahwa taubatnya tak bisa diterima, beranglah si pemuda dan membunuhnya, hingga genaplah dia membunuh sebanyak 100 orang. Tetapi karena dia sungguh-sungguh bertaubat, teruslah dia mencari orang yang bisa membimbingnya pada cayaha Allah, hingga Allah pertemukan dia pada seorang alim ulama, disanalah dia mendapat pencerahan bahwa betapa luasnya ampunan Allah, yang akan mengampuni dosa-dosanya, jika dia sungguh-sungguh bertaubat.
Sang alim menyarankannya untuk hijrah dari kampung halamannya yang tidak mendukung pertaubatannya, menuju suatu kampung yang menegakkan amar makruf nahi munkar. Belum sempat kaki menjejak bumi hijrah, ajal pemuda telah mendahuluinya, dan diakhir kehidupannya, dia diampuni Allah, karena kesungguhan untuk bertaubat.
Hadits ini, menyentuh hati mereka, yang telah terlanjur berbuat dosa besar yang jika dipikir logika, tidak akan mungkin diampuni Allah karena saking besarnya. Begitu pula untuk kasus wanita pezina di atas.
Tidaklah hadits ini dipahami, jika seorang yang membunuh orang lain, mudah saja dosanya diampuni, karena Allah Maha Pengasih!
Melainkan dengan tegas Allah tetapkan, bahwa hukuman orang yang membunuh orang lain adalah dia juga akan dibunuh! (Qishahs) Nyawa dibalas dengan nyawa! (QS. Al Maidah, 5:45)
Kejamkah Allah pada hamba-Nya? Tegakah Rasul pada umatnya? Justru karena agama ini adalah agama cinta, cinta Allah pada kita maka humuman itu ditetapkan.
Hukum-hukum yang telah ada dalam kitab Taurat, yang diberlakukan sampai sekarang dalam syariat Islam. Menyibak tirai hati kita untuk memahami, betapa berharganya arti sebuah nyawa dalam kehidupan ini.
Karena jika seseorang itu membunuh orang lain, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. Al Maidah, 5:32)
Hukum Qisash ini, mematahkan pendapat orang yang menuduh agama cinta ini identik dengan kekejaman dan pembunuhan. Melainkan ketika hukum ini diberlakukan, orang akan berpikir beribu kali untuk menghilangkan nyawa orang lain, karena balasannya adalah dia juga akan dibunuh.
Demikianlah pula dalam memahami hadits wanita pezina. Hadits ini disabdakan Rasulullah SAW, menceritakan seorang wanita pezina yang berasal dari Bani Israil, tersebab amal kebaikannya menyelamatkan seekor binatang dari kematian, dosanya diampuni. Hadits ini menghibur mereka yang sudah terlanjur melakukan dosa besar karena berzina, dan ingin bertaubat, memohon ampunan Allah, dan berhenti dari perbuatan maksiatnya. Karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sebenarnya hukum rajam telah ditetapkan, jauh sebelum Al Qur’an diwahyukan Allah pada Rasulullah. Hukum rajam telah ada di dalam kitab Taurat, yang Allah wahyukan pada Nabi Musa,
Ketika itu, saat hukum Allah telah mampu ditegakkan oleh Rasulullah di Madinah, beliau hidup bergandengan dengan kaum Yahudi.
Suatu hari, Rasulullah SAW berpapasan dengan orang-orang Yahudi. Mereka membawa seseorang dari kalangan mereka yang dihukum jemur dan cambuk. Bertanyalah beliau pada mereka, “Apakah seperti ini hukuman bagi pezina di dalam kitab kalian?” “Ya,” jawab mereka. Lalu Rasulullah memanggil seorang pendeta mereka dan bertanya, “Demi Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa. Apakah benar-benar seperti ini hukuman bagi pezina di dalam kitab kalian?” Pendeta Yahudi itu menjawab, “Sesungguhnya tidak seperti itu. Jika tadi Anda tidak bersumpah terlebih dahulu, aku tidak akan menjelaskan yang sebenarnya.
Di dalam kitab kami, hukuman zina adalah rajam. Namun, karena banyak dari kalangan pembesar melakukannya, kami pun membiarkannya. Jika pelakunya adalah dari kalangan rakyat, kami menetapkan hukuman itu atasnya. Karena itulah, berdasarkan hasil musyawarah, kami menerapkan atas kalangan pembesar dan rakyat, hukum jemur dan cambuk.
Rasul SAW pun bersabda, “Ya Allah, aku adalah orang pertama yang menghidupkan kembali perintah-Mu setelah mereka menghapuskannya.” Rasul lalu menetapkan hukum rajam bagi pezina. Kemudian, Rasul SAW pun melakukan perajaman atas orang Yahudi yang berzina itu. Maka, turunlah ayat QS. Al Maidah, 5:41) (H.r. Ahmad dan Muslim)
Kejamkah Allah dan rasul-Nya kepada kita ketika hukuman itu ditegakkan? Justru karena agama ini agama cinta, Allah menetapkan hukuman rajam bagi mereka yang berzina (jika menikah) karena mencintai kita.
Justru karena ketegasan hukuman itu membuat kita takut untuk melakukan perbuatan hina ini. Perasaan takut itulah tanda kita beriman kepada Allah, karena orang yang beriman kepada Allah, tidak akan pernah mau melakukan zina! Jikapun terlanjur melakukannya, maka dia bersegera datang menuju ampunan Tuhan yang telah ditetapkan atasnya, sebagaimana kisah taubatnya wanita yang berzina di zaman Rasulullah ini membuat kita terpukau, merasakan betul keindahan ajaran agama cinta ini.
Ketika itu, datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah SAW, rasa cinta, harap dan takutnya pada Allah mengalahkan segala yang ada pada dirinya, tak takut pada penilaian manusia sedikitpun kecuali Allah semata.
Berkatalah ia pada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku telah berzina, maka tolonglah sucikan aku!”
Mendengar hal itu, memerah wajah Rasulullah, sedih ada umatnya yang melakukan perbuatan tersebut, seakan beliau menyangsikan apa yang di dengarnya. Namun sang wanita tetap bersikeras mengakui perbuatan dosanya dan meminta hukum rajam ditegakkan atasnya.
“Pulanglah sampai engkau melahirkan,” ucap Rasulullah padanya. Bulan berganti bulan, dan akhirnya sampailah tiba waktu wanita itu melahirkan, setelah beberapa hari kemudian, menghadaplah dia kembali pada Rasulullah, minta hukuman rajam itu ditegakkan atasnya.
Apa reaksi Rasulullah? “Tunaikanlah hak anakmu dengan menyusuinya selama dua tahun penuh, setelah itu barulah engkau datang padaku.” Katanya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahunpun berlalu, dijalani wanita itu dengan bertambah-tambah keimanannya kepada Allah, dan akhirnya genaplah dua tahun dia menyusui anaknya, dan menyapihnya. Kemudian, menghadaplah dia pada Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, aku telah menunaikan hak anakku, maka tegakkanlah hukum rajam atasku.”
Akhirnya, setelah ditetapkan siapa yang merawat anaknya nanti sepeninggalnya, akhirnya Rasulullah menegakkan hukum rajam atasnya, kemudian menshalatinya.
Berkata Umar bin Khathab, “Anda menshalatinya wahai Rasulullah, sungguh dia telah berzina.” Maka bersabdalah beliau: “Sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang sempurna, seandainya taubatnya itu dibagikan kepada 70 orang dari penduduk Madinah, maka taubat itu akan mencukupinya. Apakah engkau mendapati sebuah taubat yang lebih utama dari pengorbanan dirinya untuk Allah?” (HR. Ahmad)
Kisah ini membawa cahaya tersendiri di Madinah, terbukti hampir tidak pernah ditemukan lagi kasus ini.
Janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al Israa’, 17:32)
Allah berfirman,
“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah, 5:44)
“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah, 5:45)
Zalim, aniaya pada diri sendiri,
Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah, 5:47)
Fasik, karena keluar dari peraturan Allah dan mengikuti jalan yang lain.
Agama ini adalah Agama Cinta, karena berasal dari Dzat yang amat sangat mencintai kita, dibawa oleh seorang manusia yang luar biasa istimewa karena akhlaknya yang begitu kasih, jika kita dalami lagi, jika kita pahami lagi lebih dalam, tambah luruhlah hati ini, antara cinta, harap dan takut menjadi satu, terpaut pada nama yang selalu kita rindu, Allah dan rasul-Nya.
Ketika kita sadari makna Ramadhan ini untuk mentadabburi surat cinta-Nya, bertemulah kita pada pertanyaan Allah yang membuat kita malu menyandang kata seorang yang mengaku beragama Islam.
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al Maidah, 5:50). []
Wallahualam bis Shawab