Sudah jelas pengambilan uang riba itu diharamkan. Tapi tetap saja masih ada cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Padahal ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih menjelaskan haramnya pengambilan uang riba tersebut.
Berikut di antaranya alasan cendekiawan yang memmbenarkan akan pengambilan riba:
Pertama. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
Kedua. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang, sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak mendzalimi, diperkenankan.
Ketiga. Bank, sebagai lembaga, tidak termasuk dalam kategori miukallaf. Dengan demikian, tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.
1. Darurat
Untuk memahami pengertian darurat, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat seperti yang dinyatakan syara’ (Alah dan Rasul-Nya), bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
Imam Suyuti dalam bukunya, al-Asybah wan Nadzair menegaskan bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak segera melakukan tindakan dengan cepat, akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.”
Dalam literatur klasik, keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan dua batasan.
2. Berlipat Ganda
Ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan. Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas firman Allah dalam surah Ali-Imran ayat 130,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.”
Sepintas, surat Ali Imran ayat 130 itu memang hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi, jika memahami kembali ayat tersebut secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.
Kriteria berlipat ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba dan sama sekali bukan merupakan syarat. Syarat berarti kalau terjadi pelipatgandaan maka riba, jika kecil maka tidak riba.
Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi fiqih Islami di Paris tahun 1978, menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Ia menjelaskan secara linguistik arti “kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar daripada semula.
Dengan demikian, menurutnya, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%. Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam. []
Sumber:Bank Syariah /Karya: DR. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec /Penerbit:Gema Insani