TEPI BARAT– Mohammed Nassar belum pernah bertemu anaknya selama 15 tahun. Pada tanggal 7 Maret 2002, saat Intifadah Kedua, Nassar mengatakan bahwa anaknya Shadi “meninggalkan rumah dan tidak pernah kembali”.
Shadi pergi untuk melakukan serangan bom di pintu masuk pemukiman Israel Ariel yang ilegal di Tepi Barat yang diduduki. Ia terbunuh bersama 15 orang Israel yang terluka. Serangan Shadi sebagai bentuk perlawanan atas kezaliman Israel yang semena-mena menduduki dataran Palestina.
Lima belas tahun kemudian, Israel terus menolak untuk mengembalikan tubuh Shadi, atau apa yang tersisa darinya, kepada keluarganya untuk dimakamkan.
“Sudah sangat sulit bagi kita, hanya Tuhan yang tahu bagaimana kita bisa melewati tahun-tahun ini,” kata Nassar kepada wartawan Al-Jazeera, Zena Al-Tahhan. “Ini adalah bentuk penyiksaan psikologis. Setiap hari adalah hari yang menyakitkan. Kami terus berpikir bahwa dia mungkin masih hidup.”
Jenazah pemuda itu disebut-sebut berada di “kuburan bernomor” di Israel yang terkenal, bersama dengan ratusan orang Palestina lainnya. Kuburan terdiri dari kuburan massal yang ditandai dengan nomor, bukan nama, dan beberapa mayat telah ada sejak perang 1967.
Dalam sebuah laporan terbaru, kelompok hak asasi manusia Palestina memperkirakan setidaknya terdapat 249 orang Palestina, termasuk Shadi, dikuburkan di pemakaman di seluruh Israel di zona militer tertutup, dan sembilan lainnya dibekukan di Tel Aviv.
Praktik penahanan jenazah oleh Israel telah lama menyakitkan keluarga Palestina. Mereka terkadang harus menunggu puluhan tahun sebelum menerima mayat orang yang mereka cintai.
Sudah diketahui secara luas bahwa Israel menggunakan praktik ini sebagai taktik untuk memanfaatkan negosiasi. Pada tahun 2012, Israel membebaskan 90 warga Palestina dengan sebuah syarat perundingan damai antara pejabat Israel dan Palestina dapat dihidupkan kembali. Antara tahun 2013 dan 2014, sekitar 27 mayat dikembalikan.
Praktik tersebut adalah pelanggaran terhadap hukum domestik dan internasional Israel. Konvensi Jenewa menyatakan bahwa pihak yang terlibat konflik bersenjata harus mengubur orang yang meninggal dengan cara yang terhormat.
Menurut aturan tahun 2016 tentang kepatuhan Israel terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang Menentang Penyiksaan, Komite PBB mengungkapkan keprihatinannya mengenai penggunaan praktik ini oleh Israel.
Komite tersebut mendesak Israel untuk mengembalikan mayat orang-orang Palestina yang belum dikembalikan ke keluarga mereka sesegera mungkin, sehingga mereka dapat dikubur sesuai dengan tradisi dan kebiasaan agama mereka, dan untuk menghindari situasi serupa diulang di masa depan.
Mervat Nahhal dari pusat HAM Al Mezan di Gaza, mengatakan bahwa Israel mulai menggunakan taktik ini secara sistematis mulai dari tahun 2000an.
“Israel tidak memberikan sertifikat kematian untuk mayat-mayat yang ditahannya dan tidak mengungkapkan nama-nama para martir yang ditahannya. Hal ini tidak sesuai dengan hukum internasional,” pungkasnya.[]