UMAT Islam di Tanah Air yang mayoritas Sunni pasti menentang praktik nikah mut’ah. Pernikahan mut’ah disebut-sebut sebagai pernikahan yang kontroversi karena dianggap menyalahi aturan syariat.
Dalam buku berjudul “Mistik, Seks, dan Ibadah”, cendekiawan yang juga pakar tafsir Alquran Prof Quraish Shihab menjelaskan, bahwa mut’ah dalam pengertian bahasa adalah kenikmatan, kesenangan dan kelezatan. Sementara nikah mut’ah didefinisikan sebagai pernikahan dengan menetapkan batas waktu tertentu, hari atau bulan yang disepakati calon suami istri. Jika batas waktu itu berakhir, maka secara otomatis perceraian terjadi.
Nikah mut’ah merupakan amalan kontroversial yang masih dianut oleh kaum syiah. Masalah ini menjadi titik rawan antara dua kelompok besar, yakni Sunni dan Syiah. Di satu sisi, kaum syiah menghalalkan dengan mutlak. Di lain sisi kaum Sunni mengharamkannya juga dengan mutlak.
BACA JUGA: Mungkinkah Manusia Menikah dengan Jin?
Dikutip dari buku Panduan Lengkap Muamalah karangan Muhammad Bagir, mut’ah disebut juga nikah sementara waktu atau nikah terputus. Secara bahasa, kata ini berarti sesuatu yang dinikmati atau dimanfaatkan. Pelakunya mendapat kemanfaatan dengannya serta menikmati sampai batas waktu yang ditentukan.
Ayat Alquran yang kerap dijadikan dalil oleh komunitas syiah, nikah mut’ah halal adalah “… Maka istri-istri yang telah kamu nikmati, di antara mereka (dalam ayat tersebut digunakan lafal istamta’tum bihi minhunna), berikanlah kepada mereka mahar sebagai suatu kewajiban.” (QS An Nisa:24).
Dalam bacaan Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ka’b bin Ubay dan Said bin Jubair, kalimat tersebut mendapatkan penambahan makna. “…Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (dengan tambahan kalimat: sampai batas waktu tertentu).”
Mazhab Ja’fari, salah satu mazhab yang dianut kaum syiah mengurai bahwa ada beberapa persyaratan untuk nikah mut’ah. Syarat-syarat tersebut, yakni mengucapkan ijab kabul dengan lafal nikah, kawin, atau mut’ah dengan seorang perempuan. Hal tersebut dilakukan sambil menetapkan mahar tertentu dan berlakunya selama waktu tertentu yang disetujui bersama. Misalnya satu hari, satu pekan, satu bulan, dan sebagainya.
Perempuan yang dinikahi mut’ah tersebut juga harus dalam keadaan bebas dari hambatan apa pun yang membuatnya haram dinikahi. Hambatan itu menisbatkan pada dalil dalam Alquran, yakni hambatan nasab, periparan, persusuan, dan sebagainya. Kondisi lainnya, saat dia dalam keadaan iddah atau berada dalam ikatan perkawinan dengan lelaki lain.
Ikatan pernikahan itu akan berakhir seiring dengan habisnya waktu yang masih tersisa. Ikatan nikah berakhir dengan sendirinya tanpa memerlukan talak. Hanya, bila dikehendaki, ikatan tersebut boleh diperpanjang lagi sampai waktu yang ditentukan. Dengan catatan, si suami memperbaharui akad dan mahar.
Catatan lainnya, tidak ada batas tertentu jumlah perempuan yang boleh dinikahi secara mut’ah. Meski, ada ulama syiah yang membatasi hingga empat orang saja. Saksi pun tidak diperlukan dalam nikah mut’ah.
Dalam sejarahnya, nikah mut’ah pernah diperbolehkan pada masa awal Islam karena situasi darurat. DR. Ahmad Nahrawi Abdus Salam dalam buku berjudul “Ensiklopedia Imam Syafi’i” menyebutkan, bahwa nikah mu’tah kemudian dilarang dan larangan itu sudah menjadi ijma’ ulama.
Dikutip dari Firman Arifandi dalam bukunya berjudul “Serial Hadits Nikah 2 Cinta Terlarang” , Imam An Nawawi menjelaskan dalam Al Minhaj, bahwa nikah mut’ah pernah diperbolehkan dan kemudian dilarang hingga hari akhir. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Salamah bin Al Akwa’ berkata, “Rasulullah saw memberi keringanan pada kami dalam masalah mut’ah wanita-wanita pada tahun Authos selama tiga hari, kemudian beliau melarangnya.”
Dalam hadits yang diriwayatkan At-Tirmizy, Abdullah bin Abbas Ra mengatakan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan di awal-awal pensyariatan. Saat itu, seseorang yang mengembara di suatu negeri tanpa memiliki pengetahuan berapa lama akan tinggal, lalu dia menikah dengan seorang wanita sekadar masa bermukim di negeri itu, istrinya itu memelihara hartanya dan mengurusinya, hingga turunnya ayat yang berbunyi: orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali kepada istrinya dan budaknya.
Nikah mut’ah pernah diperbolehkan karena masyarakat Islam saat itu masih dalam masa transisi dari zaman jahiliyah kepada Islam. Akan tetapi, Rasulullah SAW kemudian melarang praktik nikah mut’ah. Hal ini juga ditegaskan dalam Fathul Bari, Ibnu hajar Al Asqalani menjelaskan, bahwa pernikahan mut’ah praktiknya seperti nikah kontrak, yang mana hukum kebolehannya sudah termansukh atau terhapus.
Dari Ar-Rabi’ bin Sabrah Al-Juhani berkata, bahwa ayahnya berkata kepadanya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Wahai manusia, dahulu aku mengizinkan kamu nikah mut’ah. Ketahuilah bahwa Allah swt telah mengharamkannya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim).
Karena itulah, para ulama dari seluruh mazhab pun sepakat bahwa nikah mut’ah hukumnya haram dan memasukannya dalam jenis pernikahan yang bathil. Bahkan, pelaku nikah disamakan dengan pezina. Sahabat Nabi SAW, Umar bin Khattab, menganggap nikah mut’ah sebagai sebuah kemungkaran. Selain itu, pelakunya diancam dengan hukum rajam, karena tidak ada bedanya dengan zina.
BACA JUGA: Suami-Istri Wajib Tahu, Inilah Hal-hal yang Membatalkan Pernikahan
Di zaman sekarang, nikah mut’ah semakin jelas akan keharamannya. Sebab, jika ditinjau dari perspektif rukunnya, nikah mut’ah dipandang bathil karena ketiadaan saksi, wali, dan pembatasan masa nikah yang menjadikan nikah tidak sah. Kalau pun ada saksi dan wali, tidak jarang para pelakunya adalah palsu. Quraish Shihab juga mengatakan, bahwa nikah mut’ah tidak sejalan dengan tujuan perkawinan yang diharapkan Alquran. Dalam hal ini, suatu pernikahan tentunya diharapkan langgeng, sehidup dan semati, bahkan sampai hari kiamat.
Kendati demikian, ia menyebut bahwa terdapat perbedaan pandangan antara ulama Sunni dan Syiah terkait nikah mut’ah ini. Dalih bahwa Umar bin Khattab lah yang melarang nikah mut’ah dijadikan pegangan oleh ulama Syiah untuk membolehkan nikah mut’ah. Sementara ulama Sunni melarang nikah mut’ah, namun tetap membedakannya dengan perzinahan. Akan tetapi, Quraish Shihab juga menyebut tidak sedikit ulama Syiah yang tidak menganjurkan mut’ah, karena dapat merugikan kaum wanita.
Di Indonesia, Dewan Pimpinan MUI sudah mengeluarkan fatwa terkait kawin kontrak pada 25 Oktober 1997 silam. Dalam fatwanya, MUI memutuskan bahwa nikah kontrak atau mut’ah hukumnya haram. []
SUMBER: REPUBLIKA