BANYAK orang yang tahu dengan beberapa shalat sunnah populer seperti shalat Tahajjud, Duha, Istikharah dan sebagainya. Namun tak banyak orang tahu dengan Shalat Isyraq. Padahal pahala dari shalat Isyraq ini bukan main-main, pahalanya sama dengan haji dan umrah dengan sempurna! MasyaAllah. Shalat Isyraq sendiri adalah permulaan shalat Duha, di mana waktu shalat Duha itu dimulai dari terbitnya matahari. Penetapan penamaan shalat ini pada waktu shalat Duha sebagai shalat Isyraq diperoleh dari Ibnu Abbas ra:
Dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, bahwa Ibnu Abbas tidak shalat Duha. Dia bercerita, lalu aku membawanya menemui Ummu Hani’ dan kukatakan : “Beritahukan kepadanya apa yang telah engkau beritahukan kepdaku”. Lalu Ummu Hani berkata : “Rasulullah SAW pernah masuk ke rumahku untuk menemuiku pada hari pembebasan kota Mekah, lalu beliau minta dibawakan air, lalu beliau menuangkan ke dalam mangkuk besar, lalu minta dibawakan selembar kain, kemudian beliau memasangnya sebagai tabir antara diriku dan beliau. Selanjutnya, beliau mandi dan setelah itu beliau menyiramkan ke sudut rumah. Baru kemudian beliau mengerjakan shalat delapan rakaat, yang saat itu adalah waktu Duha, berdiri, ruku, sujud, dan duduknya adalah sama, yang saling berdekatan sebagian dengan sebagian yang lainnya”. Kemudian Ibnu Abbas keluar seraya berkata : “Aku pernah membaca di antara dua papan, aku tidak pernah mengenal shalat Dhuha kecuali sekarang.
BACA JUGA: Shalat Duha Pengganti Sedekah Seluruh Persendian Manusia
“Untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” (QS. Shaad : 18)
Dan aku pernah bertanya : “Mana shalat Isyraq ?” Dan setelah itu dia berkata : “Itulah shalat Isyraq” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabari di dalam Tafsirnya dan Al-Hakim [Atsar hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam Tafsirnya XXIII/138 –al-Fikr dari dua jalan.]
Mengenai keutamaan shalat Duha di awal waktu atau shalat Isyraq, telah diriwayatkan beberapa hadits berikut ini.
Dari Abu Umamah, dia bercerita, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mengerjakan shalat Subuh di masjid dengan berjamaah, lalu dia tetap diam di sana sampai dia mengerjakan shalat Duha, maka baginya seperti pahala orang yang menunaikan ibadah haji atau umrah, (yang sempurna haji dan umrahnya)” (HR Ath-Thabrani)
Dalam riwayat lain disebutkan:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ ». قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ ».
Dari Anas bin Malik ra, Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian duduk berdzikir sampai terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala haji dan umrah.” Nabi SAW menambahkan: “Sempurna..sempurna..sempurna…” (HR. At Turmudzi no.589 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Syaikh Mukhtar As Sinqithi memberikan penjelasan hadits ini, bahwa keutamaan ini hanya dapat diraih jika terpenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
Pertama, Shalat subuh secara berjamaah. Sehingga tidak tercakup di dalamnya orang yang shalat sendirian. Zhahir kalimat jamaah di hadis ini, mencakup jamaah di masjid, jamaah di perjalanan, atau di rumah bagi yang tidak wajib jamaah di masjid karena udzur.
Kedua, duduk berzikir. Jika duduk tertidur, atau ngantuk maka tidak mendapatkan fadlilah ini. Termasuk berzikir adalah membaca Alquran, beristighfar, membaca buku-buku agama, memberikan nasihat, diskusi masalah agama, atau amar ma’ruf nahi mungkar.
Ketiga, duduk di tempat shalatnya sampai terbit matahari. Tidak boleh pindah dari tempat shalatnya, jika dia pindah untuk mengambil mushaf Alquran atau untuk kepentingan lainnya maka tidak mendapatkan keutamaan ini. Karena keutamaan (untuk amalan ini) sangat besar, pahala haji dan umrah “sempurna..sempurna..sempurna” sedangkan maksud (duduk di tempat shalatnya di sini) adalah dalam rangka Ar Ribath (menjaga ikatan satu amal dengan amal yang lain), dan dalam riwayat yang lain Nabi SAW bersabda, “Kemudian duduk di tempat shalatnya.” Kalimat ini menunjukkan bahwa dia tidak boleh meninggalkan tempat shalatnya. Dan sekali lagi, untuk mendapatkan fadlilah yang besar ini, orang harus memberikan banyak perhatian dan usaha yang keras, sehingga seorang hamba harus memaksakan dirinya untuk sebisa mungkin menyesuaikan amal ini sebagaimana teks hadits.
Keempat, shalat dua rakaat. Shalat ini dikenal dengan shalat isyraq. Shalat ini dikerjakan setelah terbitnya matahari setinggi tombak. (Syarh Zaadul Mustaqni’ oleh Syaikh Syinqithi 3:68).
Apakah harus duduk ditempat shalatnya?
Penjelasan Syaikh As Sinqithi di atas menunjukkan dengan tegas bahwa beliau mempersyaratkan harus duduk di tempat shalatnya dan tidak boleh geser atau berdiri sedikit pun. Beliau berdalil dengan tambahan riwayat: “…duduk di tempat shalatnya..” Namun sebenarnya ulama berselisih pendapat dalam memahami lafadz: “…duduk di tempat shalatnya…”
Al Hafidz Ibn Rajab Al Hambali mengatakan, “Ada perbedaan dalam memahami lafadz ‘..tempat shalatnya..’. Apakah maksudnya itu tempat yang digunakan untuk shalat ataukah masjid yang digunakan untuk shalat?” kemudian Ibn Rajab membawakan hadis riwayat Muslim yang menyebutkan bahwa Nabi SAW tidak bangkit dari tempat shalat subuh sampai terbit matahari.
Setelah membawakan dalil ini, Ibn Rajab berkomentar, “…dan diketahui bersama bahwa Nabi SAW tidaklah duduk di tempat yang beliau gunakan untuk shalat. Karena setelah shalat (wajib), beliau berpaling dan menghadapkan wajahnya kepada para sahabat radhiallahu’anhum. (Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibn Rajab 5:28).
BACA JUGA: Shalat Dhuha Rasulullah
Mula Ali Al Qori mengatakan, “…kemudian duduk berzikir… maksudnya adalah terus-menerus di tempatnya dan masjid (yang dia gunakan untuk shalat jamaah subuh). Hal ini tidaklah (menunjukkan) terlarangnya berdiri untuk melakukan thawaf, belajar, atau mengikuti majlis pengajian, selama masih di dalam masjid. Bahkan andaikan orang itu pulang ke rumahnya sambil terus berzikir sampai terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat, dia masih (mendapatkan fadhilah sebagaimana) dalam hadits ini.” (Mirqatul Mafatih, 4:57).
Keterangan Mula Ali Al Qori yang memasukkan orang yang pulang ke rumah selama berzikir ke dalam hadits ini, bisa dianggap kurang tepat. Karena zhahir hadis secara tegas menunjukkan harus duduk berzikir di dalam masjid. Sedangkan keterangan Ibn Rajab bolehnya berpindah tempat ketika berzikir selama masih di dalam masjid lebih mendekati kebenaran. Mengingat tidak adanya persyaratan dalam hadits di atas yang menunjukkan tidak bolehnya bergeser dari tempat yang digunakan untuk shalat.
Akan tetapi, sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjaga amal maka ada baiknya jika mengikuti pendapatnya Syaikh As Sinqithy dengan tidak bergeser dari tempat shalatnya. Wallahu a’lam. []
SUMBER: ALQURAN-SUNNAH