DI awal-awal KH Ahmad Dahlan melancarkan gerakannya banyak sekali tantangan dihadapi. Mulai dari dituduh sebagai kyai palsu, kyai kafir, kyai sesat, Kristen Putih sampai caci maki. Bukan hanya dari mereka yang tua-tua tetapi juga anak-anak. Mungkin, anak-anak itu cuma disuruh.
Pada suatu hari sekitar jam 9 jam 10 pagi, ketika KH Ahmad Dahlan sedang menelaah (membaca) salah satu kitab di beranda rumahnya, ada serombongan anak-anak yang mendatangi rumahnya sambil berteriak-teriak (mungkin ada yang menyuruh), ‘Kyai sesat, kyai sesat, kyai sesat. Kyai palsu, kyai palsu, kyai palsu …”.
Mendengar suara riuh itu Kyai Dahlan keluar sambil tersenyum. Anak-anak itu masih berteriak-teriak, “Kyai palsu, kyai palsu, kyai palsu. Kyai sesat, kyai sesat, kyai sesat”, dan seterusnya.
Kyai Dahlan tetap berdiri di depan rumahnya memperhatikan anak-anak itu sambil tersenyum. Bahkan kemudian Kyai Dahlan ikut bertepuk tangan mengikuti irama teriakan anak-anak itu juga sambil menirukan apa yang diteriakkan anak-anak itu, “Kyai palsu-kyai palsu, kyai palsu. Kyai sesat, kyai sesat, kyai sesat.”
Mungkin karena mereka (anak-anak) itu lelah berteriak atau karena heran, karena Kyai Dahlan tidak marah, maka mereka lalu berhenti berteriak dan ‘mlogo dan ndomblong” (terbengong-bengong).
Ketika berhenti Kyai Dahlan bertanya, ‘Lho kok berhenti? Ayo terus! kata Kyai Dahlan.
Karena anak-anak itu diam, kemudian dengan senyum kebapakan dan penuh wibawa Kyai mendekati anak-anak menyalami anak-anak itu satu persatu sambil ditanya namanya siapa? Ayahnya siapa? Rumahnya di mana? dan seterusnya.
Kemudian, Kyai Dahlan duduk di undak-undakan (tangga rumah) sambil mengajak anak-anak duduk di sekitarnya. “Mari, duduk di sini”, kata Kyai Dahlan.
Karena keramahan sekaligus kewibawaan Kyai Dahlan, anak-anak itu pelan-pelan satu per satu duduk di sekitar Kyai. Kyai Dahlan tidak mempersoalkan teriakan, tetapi menanyakan di mana rumahnya, putranya siapa, pekerjaan orang tuanya apa?
Juga ditanyakan pula ada yang sekolah apa tidak? Dulu, tidak setiap anak bisa sekolah. Kalau habis maghrib apa ada yang ikut mengaji. Kalau ngaji, ngajinya di mana, siapa yang mengajar mengaji? Dan seterusnya.
Setelah mendapat jawaban anak-anak itu, kyai bertanya. “Apa kamu semua mau bermain bersama saya? Apa kamu semua mau saya dongengi?”
Tawaran yang simpatik itu dijawab oleh mereka serempak, “Mau Kyai, mau Kyai”.
Kata Kyai, “Baik, kalau mau, sekarang masuk ke rumah”
Kemudian Kyai Dahlan minta Nyai membeberkan tikar dan membuatkan minuman. Setelah itu Kyai Dahlan mendongeng suatu kisah yang diambilkan dari tarih Islam. Karena cara mendongengnya menarik, kadang-kadang disertai dialog yang komunikatif, tokoh-tokoh yang didongengkan itu seakan-akan hidup. Anak-anak terpukau keasyikan.
Ketika mendengar azan dhuhur, Kyai berhenti dan berkata. “Itu sudah terdengar azan sekarang kita berhenti, shalat dulu. Sekarang kamu berwudhu, ada yang belum bisa berwudhu? Terus shalat bersama saya di langgar itu. Ada yang belum bisa shalat ? Nanti habis shalat kita ke sini lagi”.
Ketika anak-anak keluar untuk berwudhu, Kyai Dahlan membisiki Nyai Dahlan, “Tolong sediakan makan siang ala kadarnya untuk anak-anak itu. Kita kedatangan murid-murid baru,” kata Kyai.
Selesai shalat anak-anak diajak makan. Selesai makan, Kyai Dahlan berkata, “Nah, sekarang pulang dulu, kapan-kapan boleh main ke sini,” ucap Kyai Dahlan.
Tentu saja setelah itu tidak ada lagi cacian dan makian terhadap KHA Dahlan. Yang ada adalah, sekelompok anak-anak yang dengan gembira dan ceria belajar baca Al Qur’an, belajar agama kepada Kyai Dahlan.
Rupanya, Kyai Dahlan memanfaatkan cacian itu sebagai momentum untuk mendapatkan murid baru. []
Sumber: Muhammadiyah