PERASAAN cinta itu ada dan bisa hadir di hati siapa pun. Ketika seseorang mencintai orang yang disukai atau dikaguminya, pasti banyak cara yang akan dilakukan untuk menarik perhatian orang tersebut. Anak jaman ‘now’ menyebutnya PDKT atau pendekatan yang biasanya berujung pada status ‘pacaran.’ Padahal dalam islam pacaran tidak dibenarkan.
Pacaran itu salah satu perbuatan mendekati zina. Setiap muslim wajib menghindarinya, termasuk muslim yang sedang jatuh cinta pada seseorang. Bagaimana caranya? Sementara orang yang jatuh cinta sulit sekali membendung perasaannya, terutama perasaan ingin memiliki dan selalu dekat dengan yang dicintainya itu.
BACA JUGA: Pacarmu Itu, Belum Tentu Jadi Jodohmu
Allah menjelaskan dalam Alquran bahwa manusia diciptakan berpasangan-pasangan.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat [49] : 13)
Jadi, tak perlu khawatir soal jodoh. Apakah si dia yang ‘ditaksir’ itu jodoh kita atau bukan, Allah lah yang paling mengetahuinya. Meski tak boleh PDKT yang berbau pacaran, masih ada kok cara yang baik menurut petunjuk Allah dalam ayat di atas soal ‘PDKT’ yang dibolehkan. Caranya adalah dengan saling mengenal, istilahnya adalah ta’aruf.
Cara PDKT semacam ini dibolehkan dalam Islam. Mengapa? Ini tak lepas dari adab di dalamnya yang tidak melanggar atau menyalahi syariat Islam.
Lalu, bagaimana cara ta’aruf tersebut?
Tidak ada cara khusus dalam masalah ta’aruf. Inti dari proses ta’aruf adalah bagaimana seseorang bisa menggali data calon pasangannya, tanpa melanggar aturan syariat maupun adat masyarakat. Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, sebelum terjadi akad nikah, kedua calon pasangan, baik lelaki maupun wanita, statusnya adalah orang lain. Sama sekali tidak ada hubungan kemahraman. Sehingga berlaku aturan lelaki dan wanita yang bukan mahram. Mereka tidak diperkenankan untuk berdua-an, saling bercengkrama, dst. Baik secara langsung atau melalui media lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan, “Jangan sampai kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya), karena setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).
Kedua, luruskan niat bahwa ta’aruf betul-betul dilandasi i’tikad baik, yaitu ingin menikah. Bukan karena sekedar penasaran, memuaskan nafsu atau sekedar main-main.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian tidak akan beriman sampai kalian menyukai sikap baik untuk saudaranya, sebagaimana dia ingin disikapi baik yang sama.” (HR. Bukhari & Muslim)
Ketiga, boleh tukar biodata untuk mengetahui data pribadi ‘calon’ pasangan
Tulisan bisa mewakili lisan. Dengan demikian, tanpa pertemuan tatap muka pun, data si calon bisa diketahui. Meskipun demikian, tentu tidak semuanya harus diungkap. Ada bagian yang perlu terus terang, terutama terkait data yang diperlukan untuk kelangsungan keluarga, dan ada yang tidak harus diketahui atau dicantumkan dalam biodata tersebut.
Proses menggali biodata ini juga bisa dilakukan melalui pihak ketiga, semacam ‘Mak Comlang’ yang bisa saja berasal dari kerabat, saudara, keluarga ataupun teman yang terpercaya.
Keempat, proses bisa berlanjut dengan nadzar (melihat calon pasangan dalam batas-batas syariah).
Dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan, “Suatu ketika aku berada di sisi Nabi shallallahu’alaihi wasallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki. Dia ingin menikahi wanita Anshar.
Lantas Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah melihatnya?”
Jawabnya, “Belum.”
Lalu beliau memerintahkan, “Lihatlah wanita itu, agar cinta kalian lebih langgeng.” (HR. Turmudzi 1087, Ibnu Majah 1865 dan dihasankan al-Albani)
Nadzar bisa dilakukan dengan cara datang ke rumah calon pengantin wanita, sekaligus menghadap langsung orang tuanya, bukan berdua-duaan.
BACA JUGA: Saling Mengenal Ternyata Tak Cukup Saat Taaruf Saja, Lantas Bagaimana?
Kelima, proses tersebut bisa berlanjut ke tahap khitbah atau pinangan. Setelah itu proses bisa dilanjutkan ke jenjag pernikahan.
Demikianlah rangkaian proses ta’aruf dalam Islam. []
SUMBER: KONSULTASI SYARIAH