Muslim Rohingya di Myanmar disebut-sebut sebagai etnis ilegal. Padahal, Rohingya sudah menetap di negara bagian Arakan pada abad ke 8 Masehi. Mereka sudah ada bersamaan dengan perkembangan Islam yang disyiarkan oleh Pedagang Arab.
Bukti lain yang menyebutkan bahwa Rohingya sudah ada sejak lama di dataran Myanmar, tertulis dalam buku karya Shah Barid Khan. Buku tersebut ditulis pada abad ke 16. Dalam buku tersebut diceritakan, Muhammad Abu Abdillah bin Ali atau putra dari sepupu Rasulullah SAW–Ali bin Abi Thalib, RA, pernah datang ke Arakan.
Muhammad Abu Abdillah bin Ali atau yang terkenal dengan nama Muhammad Al Hanafiah ini menikahi Ratu Kaiyapuri. Keduanya kemudian tinggal di daerah kisaran Mayu yaitu wilayah sekitar sungai Naf yang berbatasan dengan distrik Chittagong, Bangladesh.
Setelah menikah, mereka beserta para pengikutnya tinggal di Arakan. Dari sanalah cikal bakal masyarakat muslim Rohingya. Pada masa kekuasaan Dinasti Mrauk-U (1430-1784) etnis Rohingya mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Banyak penduduk arakan yang beragama hindu dan budha beralih menjadi seorang muslim. Jumlah itu semakin pesat pada masa penjajahan Inggris. Saat itu terjadi migrasi besar-besaran orang Bengali Chittagong ke Arakan. Mereka menyatu dan menjadi bagian masyarakat muslim Rohingya di Arakan.
Sementara itu, nama “Arakan” menurut Ulama Rohingya diambil dari kata atau “أركان “ atau “al-rukun” yang jamaknya “arkan” dalam Islam, yang berarti pilar, prinsip, sendi, atau asas. Pada masa kekuasaan pemerintahan Myanmar (1948-sekarang), nama Arakan telah diganti menjadi Rakhine State. Tidak hanya mengganti nama Arakan, ibukota Arakan yang dahulu bernama Akyab juga diganti menjadi Sittwe. Digantinya nama Arakan dan Akyab diduga karena nama-nama tersebut terlalu melekat dengan sejarah Islam sehingga tidak cocok untuk Myanmar, yang mayoritas penduduknya beragama Budha. []
Sumber: snhadvocacycenter.org