Haji yang mabrur adalah haji yang menjadikan seseorang mampu memberikan kepatuhan tiada tara kepada rabnya. Tidak perlu dia banyak berbicara tentang syariat yang ditetapkan oleh Allah. Karena dia paham syariat itu tidak mungkin menzalimi dan pasti syariat itu membawa kebaikan dalam kehidupan kita.
Di situlah kita harus mengerti keimanan itu adalah ketundukan. Iman dengan ketundukan sebagaimana gula dengan rasa manisnya. Butiran putih tidak akan disebut gula sampai ada rasa manisnya. Kalau kita menemukan butiran putih, tetapi tanpa ada manisnya maka itu tidak bisa disebut gula. Tapi kalau kita menemukan butiran putih ada rasa manisnya, maka itu adalah gula.
Sama seperti iman. Tidak bisa disebut iman sampai patuh dan tunduk. Haji ritualnya mengajarkan patuh kamu kepada Rab-mu tanpa syarat, taat tanpa tapi. Apapun yang diperintahkan kita ikuti.
Disuruh pakai ihram kita berpakaian ihram, disuruh ambil kerikil kita ambil kerikil. disuruh melempari kita melempari, disuruh tawaf tujuh kali kita ikuti. Disuruh sa’i kita ikuti. Karena sesungguhnya itu mengajarkan, sesungguhnya syariat bukan pilihan tetapi syariat adalah konsekuensi logis dari keimanan kita kepada Allah.
Maka yang lainnya di antara pelajaran yang penting dari haji itu yang diterima itu bukan nampak keshalihan ketika dia haji. Tapi sesungguhnya karakteristik haji apabila diterima haji oleh Allah, haji itu akan menjadikan pelakunya menjadi baik setelahnya.
Ada orang yang pulang dari haji tidak bertambah kebaikannya, maka bisa jadi hajinya tertambat dan tertahan pintu-pintu langit mungkin tidak diterima, sampai tidak melahirkan kebaikan setelahnya. Tapi kita lihat ada beberapa orang setelah pulang haji maka terjadi perubahan besar dan metamorforsa yang dia lakukan ketika dia pulang dari haji. Dia menjadi orang yang lebih baik. Berarti hajinya membuka pintu langit, diterima Allah, cendera mata dari Allah. Dijadikan dia menjadi insan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya.[]
Sumber:ihram.co.id