PARA ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat Id setelah mereka bersepakat tentang pensyariatannya. sebagian dari mereka berpendapat bahwa shalat ‘Id hukumnya fardu ‘ain dan sebagian lainnya berpendapathukumnya fardu kifayah, artinya jika telah mencukupi jumlah orang yang melaksanakan maka gugur kewajiban atas yang lainnya. Juga ada yang berpendapat bahwa hukumnya sunnah mu-akkad (sunnah yang dianjurkan). Dalil-dalil setiap pendapat ini telah dipaparkan dalam kitab fiqih yang tebal. (Al-Mughni [III/253])
Ibnu Qudamah raberkata dalam al-Mufhni, “Shalat ‘Id adalah fardhu kifayah menurut pendapat yang rajih dalam madzhab (Hambali), jika sejumlah orang cukup telah melaksanakannya, maka gugur kewajiban atas yang lainnya. Apabila penduduk suatu kampung sepakat untuk tidak melaksanakannya, maka imam (penguasa) boleh memerangi mereka. Ini juga merupakan pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah. Sedangkan Abu Hanifah ra berpendapat bahwa hukumnya wajib ‘ain, bukan fardhu, syari’atkan khutbah, sehingga hukumnya wajib ‘ain, bukan fardhu. (Ini berdasarkan kaidah ushul dalam madzhab Hanafiyah yang menyatakan bahwa wajib tidak sama dengan fardhu ‘ain), seperti Shalat Jum’at. Ibnu Abi Musa mengatakkan, ‘Ada yang berpendapat bahwa hukumnya sunnah mu’akad, tidak wajib, dan inilah pendapat Imam Malik dan sebagian besar ulama Syafi’iyyah.” (Al-Mughni [III/253]).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyahra dan selainnya dari kalangan ulama muhaqqiqin merajihkan pendapat yang mengatakkan bahwa hukumnya fardhu ‘ain atas setiap Muslim, di mana beliau mengatakan, “Oleh karena itu kami merajihkan bahwa shalat ‘Id adalah wajib ‘ain. sedangkan pendapat yang mengatakan tidak wajib sangatlah lemah, karena shalat initermasuk syi’ar Islam dan (jumlah) orang yang berkumpul padanya lebih besar dari shalat Jum’at. Juga padanya disyi’arkan takbir. Adapun pendapat yang mengatakan fardhu kifayah tidaklah kokoh.” ( Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/161]). []
Sumber: Lebaran Menurut Sunnah yang Shahih/Dr.’Abdullah b. Muhammad b. Ahmad ath-Thayyar/Pustaka Ibnu Katsir