PERINTAH berpuasa memang hanya secara khusus diwajibkan oleh Allah SWT bagi orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang meyakini Allah sebagai Rabb mereka; yang menciptakan, memelihara, memberi rezeki, menganugerahkan kehidupan, menentukan ajal dan menempatkan mereka pada kehidupan abadi kelak di akhirat. Itulah ujung kehidupan. Kehidupan yang selamat bahagia, yaitu surga, dan kehidupan yang penuh derita, yaitu neraka. Demikianlah, puasa merupakan jalan alteri bagi orang-orang yang bertaqwa untuk menempati surga.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa,” (QS. Al Baqarah: 183).
Tetapi kita mengetahui, bahwa yang berusaha menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan tidak selalu orang-orang yang beriman dengan kategori seideal paparan di atas. Sebagai contoh, amsih ada orang-orang yang menjalankan puasa tetapi pada saat yang bersamaan tidak melaksanakan shalat lima waktu, atau perintah-perintah yang wajib lainnya. Atau ada orang yang sedang melaksanakan puasa Ramadhan, tetapi juga masih melakukan kemaksiatan; berzina, mencuri, berjudi dan sebagainya, yang menunjukkan bahwa sejatinya mereka tidak benar-benar beriman.
Pada sisi lain, Allah SWT menyatakan bahwa ibadah puasa akan menjadikan seorang menjadi bertaqwa, tapi pada kenyataannya yang banyak kita saksikan di tengah-tengah masyarakat, bahwa setelah satu bulan melaksanakan ibadah puasa, ketakwaan itu ternyata tidak tampak menjelma dalam diri, dalam kehidupan. Fenomena masjid-masjid kembali sepi, Al-Quran tidak dibaca lagi, dusta lagi, namimah lagi, ghibah biasa, membuka aurat, dan berbagai macam kebiasaan buruk yang sebulan Ramadhan berusaha ditutupi, tetapi dilakoni kembali.
Ketika Ramadhan datang semua berbahagia, tetapi kebahagiaan itu jarang dipelihara menjadi kebahagiaan yang produktif dan berkualitas. Ketika Ramadhan datang semua masjid penuh, tetapi kita semua tahu bagaimana akhirnya. Ketika Ramadhan, semua sangat rajin mencari rezeki demi membelikan kebutuhan semua anggota keluarganya di hari raya, setelah Ramadhan pergi, kembali malas lagi.
Lantas apa sebenarnya yang salah? Firman Allah dan logik ayat-ayat-Nya jelas tidak mungkin salah. Yang pasti, kita manusialah yang kurang maksimal dalam anugerahkan kepada kita. Bisa jadi kita hanya memahami puasa sebagai rutinitas yang datang setiap tahun. Ramadhan hanya sebagai bagian perputaran waktu dengan sedikit perbedaan rasa tertentu, dan ayat-ayat Allah sebagai pemanisnya yang menjadikan kita nampak lebih shaleh dan merasakan kesyahduan yang menggelegak-gelegak secara musiman. []
Sumber: The Power of Ramadhan/Karya: Ust. Muhammad Arifin Ilham, Ustadz. Dr. H.S. Suryani Taher /Penerbit: Haqiena