ALLAH SWT dan Rasul-Nya memerintahkan kepada umatnya yang beriman untuk senantiasa melaksanakan puasa di bulan Ramadhan dan menyambungnya 6 hari di bulan Syawal. Jika puasa Ramadhan yang memang tekena hukum wajib sehingga tak ada yang bisa melanggarnya, akan lebih mudah dilakukan, karena semua umat Muslim serentak menjalankannya.
Akan tetapi, puasa di bulan Syawal menjadi suatu hal yang cukup sulit untuk dilakukan. Selain karena ini memang ibadah sunnah, juga keadaan yang masih bernuansa idul fitri dengan banyaknya makanan dan minuman yang tersedia, menjadi pemicu tergodanya nafsu untuk menyantapnya.
Puasa di bulan Syawal memang hanya segelintir orang saja yang mampu dan mau menjalankannya. Dan bagi mereka yang belum atau mungkin tidak menjalankan ibadah yang satu ini, tidak mengetahui rahasia di balik perintah tersebut. Karena memang, di balik perintah tersebut terdapat rahasia tertentu yang menguntungkan bagi orang-orang yang menjalankannya. Apakah itu?
Dari Abdul Wahab, ia berkata, “Rahasia yang terkandung dalam anjuran puasa 6 hari Syawal ini yaitu, ‘Bahwa tidak tertutup kemungkinan terjadinya pelampiasan nafsu terhadap syahwatnya di hari raya, mengakibatkan kelengahan dan terpatri hatinya, maka puasa 6 hari seolah-olah menjadi penebus terhadap apa-apa yang kurang sempurna dalam pengetrapannya, dan cacad dalam melaksanakan puasa Ramadhan seperti persunatan yang mengiringi fardhu atau sujud syahwi.’ Sedang teknis pelaksanaannya (puasa 6 hari) adalah terusan, sejak hari pertama hingga ke 6, itulah yang diutamakan menurut ulama ahli tahqiq/ kebenaran, dan manfaat demikian ini dapat lebih mendekatkan pada kecerahan jiwa.”
Bahkan Sayid az-Zadah menegaskan, “Teknis pelaksanaan 6 hari ini sebaiknya disamakan sebagaimana puasa Ramadhan, sebab ia berfungsi sebagai penebus/ penyempurna kesunahan. Namun, apabila dikerjakan secara terpisah-pisah/ tidak terusan dalam 6 hari, juga sudah cukup.” (S. Th).
Dari Ibnu Umar RA, Nabi SAW bersabda, “Siapa puasa Ramadhan, lalu menyambungnya dengan puasa 6 hari Syawal, maka ia dibersihkan dari segala dosanya, seperti anak yang baru dilahirkan ibunya,” (Dikutip dari At-Targhib Wat-Tahrib). []
Sumber: Tarjamah Duratun Nasihin/Karya: Ust. Abu H.F. Ramadlan BA/Penerbit: Mahkota Surabaya