KEMATIAN adalah sebuah kepastian. Maut tidak mengenal waktu, tempat, dan usia. Seseorang yang hari ini masih bisa tertawa lepas bisa saja esok hari ia menemui ajalnya. Sudah menjadi kewajiban setiap Muslim, bahwa siapa saja yang meninggal dunia harus diurus dengan baik, mulai dari dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dimakamkan.
Berbeda dengan kebiasaan masyarakat di pedesaan yang masih menggunakan keranda mayat, masyarakat kota biasanya melakukan perjalanan menuju pemakaman umum dengan mobil jenazah.
BACA JUGA: Jenazah Ashim bin Tsabit Tak Bisa Dijamah Orang Musyrik
Seringkali karena jauhnya jarak pemakaman dan banyaknya pengantar si mayit, seringkali mengganggu arus lalu lintas apalagi di kota-kota besar, bahkan menyebabkan kemacetan.
Mobil jenazah tidak mengenal rambu-rambu lalu lintas. Mobil ini melaju dengan cepat agar lebih awal tiba di pekuburan. Hal ini berdasar pada tuntunan agama agar jenazah sesegera mungkin di makamkan.
BACA JUGA: Kuburkan 2 Jenazah dalam 1 Makam, Bolehkah?
Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman bagi masyarakat pengguna jalan agar sedikit bersabar mendahulukan mobil jenazah yang mau lewat. Untuk menghormati mayit, dan mengingatkan diri akan kematian. Sesungguhnya ‘penghuni’ mobil jenazah atau keranda mayit akan dialami oleh semua orang.
Namun, paling utama dari itu semua adalah do’a yang kita ucapkan saat melihat iring-iringan jenazah, yaitu: “Subhaanal hayyil ladzi la yamut” yang artinya “Maha Suci Allah Yang Hidup dan Tidak Mati.”
Diharapkan dengan do’a ini, orang yang hidup akan ingat akan Dzat yang menghidupkan dan mematikan. []
SUMBER: NU ONLINE