SIAPA sangka tinggal di negara-negara maju membuat penduduknya bebas dari stres dan depresi yang mendalam. Sebagai contoh Korea Selatan (Korsel) yang dijuluki sebagai Negara ‘Macan Asia’ bersama Jepang, penduduknya banyak yang melakukan bunuh diri.
Sedemikian tinggi angka bunuh diri warga Korsel, The Korean Times mencatat, bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor empat di Korsel. Data World Economic Forum juga menyebutkan bahwa Korea Selatan merupakan negara anggota APEC, yang penduduknya paling banyak bunuh diri. Pada 2012, tercatat tidak kurang 15.000 kasus bunuh diri. Artinya, setiap hari ditemukan 30-40 kasus bunuh diri!
Mengutip Halallifestyle, pelaku bunuh diri di Korea Selatan umumnya berusia muda berusia 10-30 tahun, bahkan dari kalangan selebritis. Dalam beberapa kasus ada pula pelaku bunuh diri yang berusia di atas 60 tahun. Tidak heran jika Korea Selatan kini mendapat julukan baru sebagai ‘Ibukota Bunuh Diri Internasional.’
Sebagai negara dengan tingkat ekonomi maju ke-13 di dunia, warga Korea selayaknya bisa hidup tenang dan sejahtera. Ternyata tidak demikian. Kajian yang dilakukan WHO pada 2002 menunjukkan kasus bunuh diri di Asia biasanya dilakukan oleh mereka yang hidup miskin.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Barkeley menunjukkan semakin tinggi tingkat sosial orang Korsel, semakin besar pula kecenderungan untuk bunuh diri. Itu sebabnya, kasus bunuh diri banyak ditemukan di kalangan selebritas yang terkenal, anak muda yang sukses berkarir, dan orang-orang dengan jabatan penting. Bunuh diri juga ditemukan di kalangan pelajar dan orang lanjut usia yang kesepian.
Menurut Hwang San-Min, psikolog di Universitas Yonsei, Seoul, kecenderungan bunuh diri di kalangan orang-orang terkenal yang masih muda umumnya karena tekanan karir dan popularitas.
“Bagi pesohor Korsel, menjadi figur publik itu artinya Anda harus selalu tampil hebat, cemerlang, dan dipuja-puji,” kata Hwang San-Min.
Hal tersebut juga didukung oleh sistem manajemen yang menjadikan artis yang dinaunginya layaknya ‘robot’ yang tidak punya perasaan. Ini pula yang membuat sebagian boyband K-Pop hengkang dan membentuk agensi sendiri karena merasa lebih merdeka.
Selain itu, penggemar Korea termasuk kalangan “die-hard” di dunia. Artinya, mereka akan melakukan apa pun demi memuja idola mereka. Inilah yang membuat para bintang hidup dalam tekanan. “Mereka tidak boleh merasa lelah, tertekan, kesepian, marah, jenuh di depan publik,” tambah Hwang San-Min.
Repotnya, filosofi hidup warga Korea tidak mengenal istilah curhat, sebagaimana umumnya di Indonesia dan negara timur lainnya. Di Amerika dan Eropa, artis yang sudah terkenal umumnya memiliki penasehat yang bisa menjadi tempat berbagi. Hal ini tidak ditemui di Korea Selatan. Orang Korea dipaksa oleh keadaan dan budaya untuk menyimpan sendiri masalahnya. Bagi mereka, adalah hal yang memalukan jika orang lain tahu penderitaan yang ditanggung.
Tingginya angka bunuh diri membuat pemerintah Korsel mencari berbagai cara untuk mencegahnya. Mulai dari menempatkan ratusan bahkan ribuan pengawas untuk mencegah bunuh diri di sejumlah lokasi yang dikenal sebagai tempat bunuh diri yang paling disukai. Mereka bertugas membujuk para pelaku untuk mengurungkan niat dan menjelaskan betapa berharganya nyawa manusia.
Para petugas ini bekerja di Jembatan Hannam yang menjadi lokasi bunuh diri favorit orang Korea. Dari 2009 hingga 2011, tercatat 485 kasus bunuh diri. Itu artinya setiap hari ada tiga orang yang melompat dari jembatan.
Sekolah-sekolah di Korsel juga melakukan pendampingan bagi siswa memiliki ‘gelagat’ akan melakukan bunuh diri. Kementerian kesehatan juga meluncurkan program “Love Life” yang memberi penyuluhan pentingnya menghargai hidup di kalangan penduduk Korea usia produktif. []