Sementara lebih dari 10.000 rumah ditaksir telah hancur bahkan rata dengan tanah. Kini, laporan-laporan baru yang masuk juga mulai menyebut munculnya aksi pemerkosaan, penyiksaan, dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
Serangan militer Myanmar terhadap Rohingya kali ini dinilai serupa dengan yang pernah mereka lakukan pada Oktober 2016, namun dengan skala lebih besar dan koordinasi lebih terpadu untuk menghancurkan semua struktur masyarakat Rohingya.
Aksi militer Myanmar pada Oktober 2016 itu mengusik Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian menyimpulkan kejahatan terhadap kemanusiaan telah berpotensi terjadi, sehingga Dewan HAM PBB membentuk Misi Pencari Fakta untuk menyelidiki apa yang sesungguhnya terjadi di Rakhine, juga Shan dan Kachin di mana militer juga menjadikan etnis sipil sebagai target.
Setelah Misi Pencari Fakta PBB melakukan penyelidikan, sebuah laporan PBB awal tahun ini
membeberkan rinci pelanggaran HAM oleh balatentara Jenderal Min Aung Hlaing terhadap Rohingya.
Pelanggaran-pelanggaran itu antara lain: tentara Min Aung Hlaing memberi stempel pada bayi saat bayi itu baru lahir, membunuh bayi yang menangis karena haus ketika mereka memerkosa ibu si bayi, dan menembak anak-anak dari belakang saat bocah-bocah itu lari dari desa mereka yang terbakar.
Tak pelak, Jenderal Min Aung Hlaing dianggap sebagai hambatan terbesar bagi Myanmar. Mimpi memperbaiki HAM, melakukan reformasi demokratis, dan mewujudkan kedamaian, seolah terbang terbawa angin.
“Revolusi demokrasi Myanmar gagal total. Kini kami malah memiliki ‘Neo-Nazisme’,” kata Kyaw Win.
Pegawai negeri di bawah kendali Min Aung Hlaing, Sang jenderal pula yang menyandera dana kesehatan dan pendidikan negara dengan berkeras memperoleh alokasi anggaran besar untuk militer.
Maka, modernisasi negeri, peningkatan pendidikan bagi rakyat, dan pelayanan kesehatan layak, masih mimpi belaka bagi Myanmar.
Bukan itu saja, Min Aung Hlaing juga mengancam keseluruhan proses perdamaian dengan menekankan pada sikap garis keras yang tak dapat diterima oleh banyak organisasi etnis.
Namun, entah bagaimana, ia kerap lolos dari sorotan internasional dan kritik langsung dunia. Pada krisis Rohingya tahun lalu, juga tahun ini tentunya,Jenderal Min Aung Hlaing yang punya tongkat komando atas tentaranya yang kalap membasmi Rohingya.[]