KUCING, dahulu dipuja sebagai dewa. Namun adapula yang dianiaya, karena ia dianggap sebagai simbol kejahatan setan. Sepanjang sejarah umat manusia terutama pada abad pertengahan di Eropa, kucing dan wanita diyakini bersekutu dengan Setan.
Anggapan itu membuat keduanya dibakar, disiksa, dan dibunuh dengan berbagai cara yang tak terbayangkan. Orang-orang percaya bahwa dengan berbuat demikian–membunuh kucing dan perempuan pemiliknya–itu dapat menghentikan kejahatan dan penyakit. Misalnya ketika wabah “Black Death” menjangkiti Eropa, kala itu kucing banyak yang dibunuh dalam jumlah besar.
Di lain pihak, ada suatu masa di mana kucing dihormati. Ia dicintai dan diperlakukan sedemikian rupa. Abu Hurairah–artinya bapak kucing–merupakan salah satu cendekiawan muslim yang menyayangi binatang itu.
Dalam kata pengantar buku “Cats of Cairo,” Annemarie Schimmel menulis: “Ketika orientalis Inggris EW Lane tinggal di Kairo pada tahun 1830-an, dia cukup kagum melihat sejumlah besar kucing setiap sore berkumpul di taman Pengadilan Tinggi. Kala itu orang-orang membawa keranjang penuh makanan untuk mereka.”
Lane kemudian mengetahui bahwa dengan cara itu, kadi (hakim) memenuhi kewajibannya untuk menghormati aturan sultan Mamluk al-Zahir Baybars abad ke-13. Sultan Mamluk al-Zahir Baybars mencintai kucing-kucing, lalu membuat “taman kucing” di mana semua kebutuhan kucing di Kairo akan terpenuhi di tempat itu.
Tradisi berlanjut. Dewasa ini, setiap wisatawan yang berkunjung ke dunia Islam, akan mendapati kucing dalam jumlah yang tak terhitung lagi. Di jalanan Kairo, Istanbul, Damaskus dan kota-kota lainnya, kucing begitu mudah didapati. Bahkan kucing sering ditemukan berada di masjid, dan mereka dengan senang hati menyambut Anda, bukan hanya sekedar mengejar tikus.
Kucing menjadi hewan yang umum di kalangan umat Islam. Salah satu kisahnya berasal dari Aisyah RA, suatu ketika ia mengeluh bahwa semua orang telah meninggalkannya. Bahkan kucingnya pun meninggalkan Aisyah sendirian.
Kucing, mereka dihormati sebagai anggota keluarga dan pelindung rumah terhadap serangga mematikan dan hewan berbahaya seperti kalajengking. Lebih penting lagi, mereka tidak hanya sahabat atau hewan peliharaan, mereka juga contoh bagi umat Islam, orang-orang yang berserah diri hanya kepada Allah, seperti dalam kisah Ibnu Babshad.
Ibn Babshad, seorang ahli bahasa, suatu ketika sedang duduk dengan teman-temannya di atap sebuah masjid di Kairo. Ketika mereka sedang memakan makanan kecil, lewat di hadapan mereka seekor kucing. Ibn Babshad memberinya beberapa potong makanan. Kucing itu kemudian pergi membawa makanannya, dan kembali datang untuk mengambil makanan lagi.
Karena penasaran, Ibn Babshad lalu mengikutinya dan melihat kucing itu lari ke sebuah rumah yang berdekatan, dimana seekor kucing buta lainnya hidup. Kucing itu kemudian secara hati-hati menempatkan potongan makanan tepat di depan si kucing yang buta tersebut. Bashbad begitu tersentuh oleh perhatian Allah bagi makhluk itu, kucing yang tidak bertuan tersebut mencari makan untuk membantu kucing buta. Kejadian itu memperteguh keyakinan Bashbad terhadap Allah.
Ada juga kisah dimana kucing menyelamatkan kehidupan Nabi dari ular yang mematikan. Kisah ini diriwayatkan oleh Annemarie Schimmel sebagai berikut:
“Abu Huraira selalu membawa kucingnya ke dalam tasnya, suatu ketika sang kucing menyelamatkan Nabi dari gigitan seekor ular. Sebagai bentuk terimakasih, nabi kemudian mengelus-elus kucing itu pada dahinya, sehingga konon bekas usapan jari-jari nabi masih terlihat pada dahi kebanyakan kucing. Ada empat garis-garis gelap pada dahi kucing. Dan, karena tangan nabi telah membelai punggungnya, kucing tidak pernah jatuh dengan punggung yang pertama kali mendarat di tempat ia jatuh.”
Di dunia Islam, kucing dihormati dan dilindungi karena kucing merupakan hewan yang dicintai oleh Nabi Muhammad. Wallahu a’lam. []
*source: muslim heritage.